TANAH BENGKOK

TANAH BENGKOK

Hak menguasai dari Negara memberi wewenang untuk:

  1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
  2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
  3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

ISTILAH TANAH BENGKOK

Istilah tanah bengkok muncul atau dikenal dari Kraton atau Kerajaan di Pulau Jawa, karena Raja tidak dapat memberi gaji pada pegawainya, maka Raja hanya dapat memberikan pegawainya tanah. Hukum Jawa Kuno memuat ketentuan bahwa Raja sering menghadiahkan pegawainya sebidang tanah, ketentuan tersebut dikukuhkan dengan suatu penetapan piagam atau prasasti .

Istilah tanah bengkok berasal dari bahasa daerah di Jawa, tanah bengkok mengandung unsur kultural historis maupun unsur yuridis. Tidak semua Desa memiliki tanah bengkok, dikarenakan tanah bengkok merupakan salah satu bentuk hak komunal masyarakat adat Desa, yaitu milik masyarakat adat yang terbentuk secara kewilayahan, bentuk tanah bengkok dapat berupa pertanian.

TANAH BENGKOK DALAM UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA)

Terdapat pada bagian “KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI” Pasal VI
Bahwa hak-hak atas tanah,  yaitu : hak vruchtgebruikgebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dikonversi menjadi Hak Pakai sebagaimana Pasal 41 ayat (1) UUPA.

Baca Juga ​HAK PAKAI

DESA DAN ASET DESA

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli milik Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) atau perolehan Hak lainnya yang sah.
Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

TANAH BENGKOK MERUPAKAN BARANG MILIK DESA (ASET DESA)

Peraturan Kementerian Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan mendefinisikan Tanah Desa adalah barang milik desa berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisara.

Pasal 100 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2oi9 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2oi4 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2oi4 Tentang Desa:

  • Hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala Desa, sekretaris Desa, dan perangkat Desa lainnya selain penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa, sekretaris Desa, dan perangkat Desa lainnya.

Jenis aset desa terdiri atas:

  1. Kekayaan asli desa;
  2. Kekayaan milik desa yang dibeli atau diperoleh atas beban APBDesa;
  3. Kekayaan desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
  4. Kekayaan desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan/atau diperoleh berdasarkan ketentuan peraturan undang-undang;
  5. Hasil kerja sama desa; dan
  6. Kekayaan desa yang berasal dari perolehan lain yang
    sah.

Kekayaan asli desa terdiri atas:

  1. tanah kas desa;
  2. pasar desa;
  3. pasar hewan;
  4. tambatan perahu;
  5. bangunan desa;
  6. pelelangan ikan yang dikelola oleh desa;
  7. pelelangan hasil pertanian;
  8. hutan milik desa;
  9. mata air milik desa;
  10. pemandian umum; dan
  11. lain-lain kekayaan asli desa.

Dengan demikian, maka tanah bengkok merupakan ​aset desa.

RAMBU BATASAN PERLAKUAN TANAH DESA MENURUT PERMENDAGRI NO. 4 TAHUN 2007

​Pasal 15 peraturan tersebut berbunyi:

  1. Kekayaan Desa yang berupa tanah Desa tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan umum.
  2. Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat ganti rugi sesual harga yang menguntungkan desa dengan memperhatikan harga pasar dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
  3. Penggantian ganti rugi berupa uang harus digunakan untuk membeli tanah lain yang lebih baik dan berlokasi di Desa setempat.
  4. Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
  5. Keputusan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah mendapat persetujuan BPD dan mendapat ijin tertulis dari Bupati/Walikota dan Gubernur.
BACA JUGA   UJIAN PRA ANGGOTA LUAR BIASA (ALB)

PENGATURAN TANAH DESA MENURUT PERMENDAGRI NO. 1 TAHUN 2016

PEMINDAHTANGANAN ASET DESA

Bentuk pemindahtanganan aset desa meliputi:

  1. tukar menukar;
  2. penjualan;
  3. penyertaan modal Pemerintah Desa.

Pemindahtanganan aset desa berupa Tanah dan/atau bangunan milik desa hanya dilakukan dengan tukar menukar dan penyertaan modal.

Penyertaan modal Pemerintah Desa atas aset desa dilakukan dalam rangka pendirian, pengembangan dan peningkatan kinerja Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Penyertaan modal berupa Tanah Kas Desa.

PENILAIAN

Penilaian aset desa dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh Penilai Pemerintah atau Penilai Publik.

TUKAR MENUKAR

Pemindahtanganan aset Desa berupa tanah melalui tukar menukar terdiri dari:

  1. untuk kepentingan umum;
  2. bukan untuk kepentingan umum; dan
  3. tanah kas desa selain untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan umum.

Tukar Menukar : UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Tukar menukar aset desa berupa tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2012 j.o PP No. 19 Tahun 2021)

Tukar menukar tersebut dilakukan dengan ketentuan:

  1. tukar menukar dilakukan setelah terjadi kesepakatan besaran ganti rugi sesuai harga yang menguntungkan desa dengan menggunakan nilai wajar hasil perhitungan tenaga penilai;
  2. apabila tanah pengganti belum tersedia maka terhadap tanah pengganti terlebih dahulu dapat diberikan berupa uang;
  3. penggantian berupa uang digunakan untuk membeli tanah pengganti yang senilai;
  4. tanah pengganti diutamakan berlokasi di Desa setempat; dan
  5. apabila lokasi tanah pengganti tidak tersedia di Desa setempat tanah
    pengganti dapat berlokasi dalam satu Kecamatan dan/atau Desa dikecamatan lain yang berbatasan langsung.

Tukar Menukar : BUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Tukar menukar tanah milik desa bukan untuk pembangunan kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila ada kepentingan nasional yang lebih penting dan strategis dengan tetap memperhatikan dan menyesuaikan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Kepentingan nasional yang lebih penting dan strategis tersebut seperti seperti pengembangan kawasan industri dan perumahan.

Tukar menukar ini dilakukan dengan ketentuan:

  1. tukar menukar dilakukan setelah terjadi kesepakatan besaran ganti rugi sesuai harga yang menguntungkan desa dengan menggunakan nilai wajar hasil perhitungan tenaga penilai;
  2. tanah pengganti diutamakan berlokasi di desa setempat;
  3. apabila lokasi tanah pengganti tidak tersedia di desa setempat tanah pengganti dapat berlokasi dalam satu kecamatan dan/atau desa dikecamatan lain yang berbatasan langsung.

Tukar menukar tanah milik desa bukan untuk kepentingan umum dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. ditetapkan dengan Peraturan Desa tentang tukar menukar Tanah milik desa;
  2. Peraturan Desa ditetapkan setelah mendapat ijin dari Bupati/Walikota, Gubernur, dan persetujuan Menteri;
  3. Sebelum Bupati menerbitkan ijin, terlebih dahulu membentuk Tim Kajian Kabupaten/Kota;
  4. Tim Kajian Kabupaten/Kota keanggotaannya terdiri dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait yang disesuaikan dengan kebutuhan serta ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota;
  5. Tim Kajian Kabupaten/Kota dengan mengikutsertakan tenaga
    penilai;
  6. Tim Kajian Kabupaten/Kota melakukan pengkajian berupa peningkatan ekonomi desa, menguntungkan desa, dan tidak merugikan aset desa; dan
  7. Hasil kajian sebagai bahan pertimbangan;
  8. hasil kajian disampaikan kepada Gubernur untuk permohonan
    ijin.

Tukar-Menukar : TANAH KAS DESA SELAIN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
DAN BUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Tanah milik Desa berada di Luar Desa atau tanah milik desa tidak satu hamparan yang terhimpit oleh hamparan tanah pihak lain dan/atau tanah milik desa yang didalamnya terdapat tanah pihak lain dapat dilakukan tukar menukar ke lokasi desa setempat.

Aset desa yang ditukarkan dihapus dari daftar inventaris aset Desa dan penggantinya dicatat dalam daftar inventaris aset Desa.

REFERENSI :

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
  5. Peraturan Kementerian Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa
  6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Aset Desa.
  7. Jurnal Hukum Adigama, Syihabudin Sya’ban S. P. & Hanaf Tanawijaya, “Eksistensi Tanah Bengkok Setelah Berubahnya Pemerintah Desa Menjadi Pemerintah Kelurahan (Studi Kasus Di Wilayah Kelurahan Kelapa Dua Dan Kelurahan Bencongan, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang)”, Volume 2 Nomor 2, Desember 2019 E-ISSN : 2655-7347.

Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *