Perjanjian adalah kesepakatan antara subjek hukum (orang atau badan hukum) mengenai sesuatu perbuatan hukum yang memberikan suatu akibat hukum yang sebagaimana dimaksud pada pasal 1313 KUHperdata.
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), menyebutkan bahwa: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
SYARAT SAH PERJANJIAN
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang halal.
KESEPAKATAN MEREKA YANG MENGIKATKAN DIRINYA
Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan (dwaling, mistake), paksaan (dwang, dures), dan penipuan (bedrog, fraud). Secara a contrario, berdasarkan pasal 1321 KUHPer, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
KECAKAPAN UNTUK MEMBUAT SUATU PERJANJIAN
Menurut pasal 1329 KUHPer, pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang.
Apa Yang Membuat Seseorang Dikatakan Tidak Cakap Menurut Hukum ?
Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah:
- Belum Dewasa
Terdapat perbedaan batas usia belum dewasa yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah sebagai berikut:- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :
“belum dewasa” ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dengan dewasa. - Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019:
Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun; - UU Jabatan Notaris:
Paling sedikit berusia 18 tahun atau telah menikah; - Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun; - Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan: Anak pidana, anak negara dan anak sipil adalah sampai usia 18 (delapan belas) tahun;
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: Pada intinya anak adalah yang belum belum berumur 18 (delapan belas) tahun;
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya;
- KUH Perdata:
Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya; - Kompilasi Hukum Islam:
Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan; - Dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang tidak seluruhnya disebutkan pada tulisan ini.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :
- Orang Yang Ditaruh Di Bawah Pengampuan
Orang Yang Ditaruh Di Bawah Pengampuan:
- Orang Gila
- Hilang Ingatan
- Orang-orang di bawah pengampuan yang semua perbuatan hukumnya diwakili oleh pengampunya, contohnya adalah orang yang pailit terhadap harta pailitnya, pemboros, pemabuk, penjudi.
- Wanita bersuami
Terkait poin wanita bersuami ini dapat dikatakan tidak relevan lagi, yaitu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963, mengatur bahwa seorang istri berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Dan juga Pasal 79 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur bahwa “masing-masing pihak (suami dan istri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum”, artinya adalah memiliki kedudukan yang sama dalam melakukan perbuatan hukum.
Suami atau istri dalam hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang juga dapat dikatakan tidak cakap, dalam hal ini tidak memiliki kewenangan bertindak. Misalnya dalam melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan harta bersama maka harus saling memberikan persetujuan kecuali bila ada perjanjian perkawinan.
Orang-orang yang Undang-Undang memperbolehkan atau melarangnya juga dapat dikatakan tidak cakap, dalam hal ini tidak memiliki kewenangan bertindak. Misalnya menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas yang dapat mewakili perbuatan hukum PT adalah direktur, maka seorang manajer misalnya, dianggap tidak cakap untuk mewakili perusahaan tempatnya bekerja kecuali jika ada pemberian kuasa.
SUATU HAL TERTENTU
Hal tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan merupakah hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya. Misalnya apa yang diperjanjikan adalah barang yang memang miliknya, bukan milik orang lain.
Menurut pasal 1333 KUHPer, objek perjanjian tersebut harus mencakup pokok barang tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya.
Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa objek perjanjian adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan.
SEBAB YANG HALAL
Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Hal ini diatur dalam pasal 1337 KUHPer.
Dari butir ini, dapat kita lihat bahwa suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang. Contohnya, Pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan mengatur adanya kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam kontrak:
“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.”
Jadi, untuk kontrak yang para pihaknya merupakan WNI, wajib untuk menggunakan Bahasa Indonesia.
Referensi:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019;
- Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan UU Jabatan Notaris;
- Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- Kompilasi Hukum Islam.