HUKUM PERDATA

HUKUM PERDATA

Hukum Perdata adalah hukum yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara semua anggota masyarakat. Hukum Perdata diwarnai oleh tiga sumber hukum yaitu:

  1. Hukum Adat;
  2. Hukum Islam;
  3. Hukum Perdata Barat.

Pengaturan tentang Hukum Perdata di Indonesia terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) – yang merupakan saduran dari Burgerlijk Wetboek (BW).

Pada zaman kolonial, KUH Perdata hanya berlaku bagi golongan orang Eropa yang dipersamakan, dan sebagian kepada golongan Timur Asing Tionghoa berdasarkan wewenang Gubernur Jenderal. Saai ini, penggolongan tersebut sudah ditiadakan dan seluruh orang Indonesia dianggap tunduk pada ketentuan dalam KUH Perdata atas dasar penundukan secara sukarela.

Buku KUH Perdata terbagi atas empat bagian:

  1. Buku I tentang ORANG

    Buku I mencakup aturan tentang menikmati dan kehilangan kewarganegaraan, akta-akta catatan sipil, tempat tinggal dan domisili, perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, persatuan harta kekayaan menurut undang-undang dan pengurusannya, perjanjian perkawinan, persatuan atau perjanjian kawin dalam perkawinan untuk kedua kalinya, perpisahan harta kekayaan, pembubaran perkawinan, perpisahan meja dan ranjang, kebapakan dan keturunan anak-anak, kekeluargaan sedarah dan semenda, kekuasaan orang tua, mengubah dan mencabut tunjangan nafkah, kebelumdewasaan dan perwalian, beberapa perlunakan, pengampuan dan keadaan tidak hadir.

  2. Buku II tentang BENDA

    ​Buku II mengatur tentang kebendaan dan cara membedakannya, hak milik, kerja rodi, hak usaha, hak pakai hasil, pewarisan karena kematian, surat wasiat, pemisahan harta peninggalan, piutang yang diistimewakan, gadai dan hipotik.

  3. Buku III tentang PERIKATAN

    Mengatur antara lain tentang asas-asas dalam perikatan, lahir dan hapusnya perikatan, jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, perjanjian untuk melakukan pekerjaan, persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, bunga tetap, perjanjian untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan, perdamaian.

  4. Buku IV tentang PEMBUKTIAN DAN DALUARSA

    Buku IV mengatur antara lain tentang pembuktian pada umumnya, pembuktian dengan tulisan dan dengan saksi, pengakuan, sumpah di muka hakim, daluarsa.

Tidak semua aturan dalam KUH Perdata masih berlaku. Banyak yang sudah dicabut dan banyak pula yang sudah diganti dengan aturan lain. Sebagai contoh, Buku I tentang Orang misalnya, sebagian sudah tidak berlaku. Aturan tentang perkawinan sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

HUKUM PIDANA

HUKUM PIDANA

Hukum Pidana adalah wilayah dimana negara memberikan perlindungan kepada warga negaranya dari kejahatan yang dilakukan oleh warga negara yang lain.

Hukum Pidana Indonesia tunduk pada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ada dua macam pidana yang dianut oleh KUHP, yaitu pelanggaran dan kejahatan. Contoh perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran misalnya orang mengendarai motor tanpa menggunakan helm. Sedangkan contoh kejahatan misalnya adalah tindak pidana pencurian dan tindak pidana pembunuhan.

Seperti halnya KUH Perdata, KUHP juga merupakan saduran dari Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlands Indie, sebagai turunan dari Wetboek Van Strafrecht Belanda. Berdasarkan asas konkordansi, pemerintah memberlakukannya di Indonesia lewat staatsblad Tahun 1915 No. 732 dan selanjutnya berlaku efektif pada 1 Januari 1918.

Tidak semua ketentuan di KUHP masih berlaku, karena sudah dicabut atau diganti dengan ketentuan lain.

Selain dalam KUHP, aturan pidana tersebar juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain. Sistem peraturan perundang-undangan kita, yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memperbolehkan adanya muatan pidana dalam undang-undang dan peraturan daerah dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam KUHP.

ASAS HUKUM PIDANA

  1. Asas Legalitas

    Asas legalitas dalam Hukum Pidana mengandung pengertian bahwa, “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan“.

    Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, merupakan pengertian baku dari asas legalitas. Asas ini dalam Bahasa Latin dikenal dengan “nullum delictum nulla poena sine praevia lege” yang berarti “tiada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”.

  2. Asas Nasionalitas Aktif atau Asas Personalitas

    Bahwa peraturan perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana diluar wilayah Indonesia. Asas ini tercantum dalam Pasal 5 KUHP.

    Moeljatno mengatakan bahwa ketentuan Pasal 5 KUHP mengandung dua makna. Pertama, pemberlakuan aturan hukum pidana Indonesia terhadap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia hanyalah berkaitan dengan pasal-pasal tertentu saja, yang substansinya melindungi kepentingan nasional. Kedua, diadakannya Pasal 5 Ke-2 KUHP bertujuan untuk mencegah agar warga negara Indonesia di luar Indonesia tidak melakukan tindak pidana. Jika ketentuan tersebut tidak ada, maka warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia bisa menghindar dari penuntutan pidana di negara tersebut.

  3. Asas Teritorial

    Asas teritorial diatur dalam Pasal 2 KUHP, yang menyatakan bahwa aturan pidana dalam perundangan-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia. Titik berat asas ini adalah pada tempat atau teritorial terjadinya tindak pidana. Jadi asas ini menitikberatkan pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah suatu negara, dengan mengesampingkan siapa saja yang melakukannya.

  4. Asas Universal

    Persoalan pokok yang dikaji dalam asas universal adalah jenis perbuatan (pidana) yang sedemikian rupa sifatnya sehingga setiap negara berkewajiban untuk menerapkan hukum pidana, tanpa memandang siapa yang berbuat delik, di mana dan terhadap kepentingan siapa pelaku delik melakukannya. Asas tersebut merupakan pengecualian terhadap hukum pidana yang egosentris. Asas universal diatur di dalam Pasal 4 sub 2 dan Pasal 4 sub 4 KUHP.

HAK PAKAI

HAK PAKAI

PENGERTIAN

Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mendefinisikan Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Penjelasan Pasal 41 UUPA terkait Hak Pakai

HAK PAKAI adalah suatu “kumpulan pengertian” dari pada hak-hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama, yang semuanya dengan sedikit perbedaan berhubung dengan keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya memberi wewenang kepada yang mempunyai hak. Dalam rangka usaha penyederhanaan, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu nama saja.

Berdasarkan Pasal 41 ayat (2), UUPA Hak pakai dapat diberikan :

  1. selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu
  2. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun

SUBJEK HAK PAKAI

Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah (Pasal 39 PP No. 40 Tahun 1996):

  1. Warga Negara Indonesia;
  2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
  3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
  4. Badan-badan keagamaan dan sosial;
  5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
  6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
  7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.

Pemegang Hak Pakai yang tidak lagi memenuhi syarat dalam waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu pada pihak lain yang memenuhi syarat .

Apabila dalam jangka waktu satu tahun tersebut haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap diperhatikan (Pasal 40 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996).

TANAH YANG DAPAT DIBERIKAN DENGAN HAK PAKAI

Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah :

  1. Tanah Negara;
  2. Tanah Hak Pengelolaan;
  3. Tanah Hak Milik.

TERJADINYA HAK PAKAI


​Hak Pakai atas tanah Negara

​Hak Pakai atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri. Hak Pakai atas tanah Negara dapat diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat :

  1. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
  2. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan
  3. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 39 PP No. 40 Tahun 1996

Hak Pakai atas Hak Pengelolaan

  • Hak Pakai atas Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.
  • Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang atau diperbaharui atas usul pemegang Hak Pengelolaan.

KEWAJIBAN PENDAFTARAN

Hak Pakai wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam buku tanah. Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Pakai diberikan Sertipikat Hak Atas Tanah.

Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik wajib didaftarkan dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Hak Pakai atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak saat pendaftarannya.

JANGKA WAKTU HAK PAKAI

Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu :

  1. Paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun; atau
  2. Diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Hak ini diberikan kepada :
  • Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
  • Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional;
  • Badan keagamaan dan badan sosial.

Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama.

Rumah Tunggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai (untuk Orang Asing) diberikan untuk jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun. Apabila jangka waktu perpanjangan berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 tahun.

KEWAJIBAN DAN HAK PEMEGANG HAK PAKAI

Pemegang Hak Pakai berkewajiban :

  1. membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
  2. menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
  3. memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
  4. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai tersebut hapus;
  5. menyerahkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.


Jika tanah Hak Pakai karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Pakai wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu.

PEMBEBANAN HAK PAKAI

Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut hapus dengan hapusnya Hak Pakai.

PERALIHAN HAK PAKAI

Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain.

Peralihan Hak Pakai atas tanah Negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang.

Pengalihan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan.

Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang bersangkutan.

Pengalihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan.
Peralihan Hak Pakai terjadi karena :

  1. Jual beli
    Peralihan Hak Pakai karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
    Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang.
  2. Tukar menukar
  3. Penyertaan dalam modal
  4. Hibah
  5. Pewarisan
    Peralihan Hak Pakai karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

Peralihan Hak Pakai wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

HAPUSNYA HAK PAKAI

  1. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;
  2. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena:
    • ​​tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52 PP No. 40 Tahun 1996; atau
    • tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau
    • putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
  3. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
  4. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
  5. ditelantarkan;
  6. tanahnya musnah;
  7. ketentuan Pasal 40 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996.

AKIBAT HAPUSNYA HAK PAKAI

  1. Hapusnya Hak Pakai atas tanah Negara mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara.
  2. Hapusnya Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan.
  3. Hapusnya Hak Pakai atas tanah Hak Milik mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemegang Hak Milik.

Apabila Hak Pakai atas tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Pakai wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Pakai. Apablia bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan, maka kepada bekas pemegang hak diberikan ganti rugi.

Apabila Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus, maka bekas pemegang Hak Pakai wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik.

REFERENSI :

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah;​
  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
TANAH BENGKOK

TANAH BENGKOK

Hak menguasai dari Negara memberi wewenang untuk:

  1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
  2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
  3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

ISTILAH TANAH BENGKOK

Istilah tanah bengkok muncul atau dikenal dari Kraton atau Kerajaan di Pulau Jawa, karena Raja tidak dapat memberi gaji pada pegawainya, maka Raja hanya dapat memberikan pegawainya tanah. Hukum Jawa Kuno memuat ketentuan bahwa Raja sering menghadiahkan pegawainya sebidang tanah, ketentuan tersebut dikukuhkan dengan suatu penetapan piagam atau prasasti .

Istilah tanah bengkok berasal dari bahasa daerah di Jawa, tanah bengkok mengandung unsur kultural historis maupun unsur yuridis. Tidak semua Desa memiliki tanah bengkok, dikarenakan tanah bengkok merupakan salah satu bentuk hak komunal masyarakat adat Desa, yaitu milik masyarakat adat yang terbentuk secara kewilayahan, bentuk tanah bengkok dapat berupa pertanian.

TANAH BENGKOK DALAM UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA)

Terdapat pada bagian “KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI” Pasal VI
Bahwa hak-hak atas tanah,  yaitu : hak vruchtgebruikgebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dikonversi menjadi Hak Pakai sebagaimana Pasal 41 ayat (1) UUPA.

Baca Juga ​HAK PAKAI

DESA DAN ASET DESA

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli milik Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) atau perolehan Hak lainnya yang sah.
Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

TANAH BENGKOK MERUPAKAN BARANG MILIK DESA (ASET DESA)

Peraturan Kementerian Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan mendefinisikan Tanah Desa adalah barang milik desa berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisara.

Pasal 100 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2oi9 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2oi4 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2oi4 Tentang Desa:

  • Hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala Desa, sekretaris Desa, dan perangkat Desa lainnya selain penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa, sekretaris Desa, dan perangkat Desa lainnya.

Jenis aset desa terdiri atas:

  1. Kekayaan asli desa;
  2. Kekayaan milik desa yang dibeli atau diperoleh atas beban APBDesa;
  3. Kekayaan desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
  4. Kekayaan desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan/atau diperoleh berdasarkan ketentuan peraturan undang-undang;
  5. Hasil kerja sama desa; dan
  6. Kekayaan desa yang berasal dari perolehan lain yang
    sah.

Kekayaan asli desa terdiri atas:

  1. tanah kas desa;
  2. pasar desa;
  3. pasar hewan;
  4. tambatan perahu;
  5. bangunan desa;
  6. pelelangan ikan yang dikelola oleh desa;
  7. pelelangan hasil pertanian;
  8. hutan milik desa;
  9. mata air milik desa;
  10. pemandian umum; dan
  11. lain-lain kekayaan asli desa.

Dengan demikian, maka tanah bengkok merupakan ​aset desa.

RAMBU BATASAN PERLAKUAN TANAH DESA MENURUT PERMENDAGRI NO. 4 TAHUN 2007

​Pasal 15 peraturan tersebut berbunyi:

  1. Kekayaan Desa yang berupa tanah Desa tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan umum.
  2. Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat ganti rugi sesual harga yang menguntungkan desa dengan memperhatikan harga pasar dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
  3. Penggantian ganti rugi berupa uang harus digunakan untuk membeli tanah lain yang lebih baik dan berlokasi di Desa setempat.
  4. Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
  5. Keputusan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah mendapat persetujuan BPD dan mendapat ijin tertulis dari Bupati/Walikota dan Gubernur.

PENGATURAN TANAH DESA MENURUT PERMENDAGRI NO. 1 TAHUN 2016

PEMINDAHTANGANAN ASET DESA

Bentuk pemindahtanganan aset desa meliputi:

  1. tukar menukar;
  2. penjualan;
  3. penyertaan modal Pemerintah Desa.

Pemindahtanganan aset desa berupa Tanah dan/atau bangunan milik desa hanya dilakukan dengan tukar menukar dan penyertaan modal.

Penyertaan modal Pemerintah Desa atas aset desa dilakukan dalam rangka pendirian, pengembangan dan peningkatan kinerja Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Penyertaan modal berupa Tanah Kas Desa.

PENILAIAN

Penilaian aset desa dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh Penilai Pemerintah atau Penilai Publik.

TUKAR MENUKAR

Pemindahtanganan aset Desa berupa tanah melalui tukar menukar terdiri dari:

  1. untuk kepentingan umum;
  2. bukan untuk kepentingan umum; dan
  3. tanah kas desa selain untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan umum.

Tukar Menukar : UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Tukar menukar aset desa berupa tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2012 j.o PP No. 19 Tahun 2021)

Tukar menukar tersebut dilakukan dengan ketentuan:

  1. tukar menukar dilakukan setelah terjadi kesepakatan besaran ganti rugi sesuai harga yang menguntungkan desa dengan menggunakan nilai wajar hasil perhitungan tenaga penilai;
  2. apabila tanah pengganti belum tersedia maka terhadap tanah pengganti terlebih dahulu dapat diberikan berupa uang;
  3. penggantian berupa uang digunakan untuk membeli tanah pengganti yang senilai;
  4. tanah pengganti diutamakan berlokasi di Desa setempat; dan
  5. apabila lokasi tanah pengganti tidak tersedia di Desa setempat tanah
    pengganti dapat berlokasi dalam satu Kecamatan dan/atau Desa dikecamatan lain yang berbatasan langsung.

Tukar Menukar : BUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Tukar menukar tanah milik desa bukan untuk pembangunan kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila ada kepentingan nasional yang lebih penting dan strategis dengan tetap memperhatikan dan menyesuaikan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Kepentingan nasional yang lebih penting dan strategis tersebut seperti seperti pengembangan kawasan industri dan perumahan.

Tukar menukar ini dilakukan dengan ketentuan:

  1. tukar menukar dilakukan setelah terjadi kesepakatan besaran ganti rugi sesuai harga yang menguntungkan desa dengan menggunakan nilai wajar hasil perhitungan tenaga penilai;
  2. tanah pengganti diutamakan berlokasi di desa setempat;
  3. apabila lokasi tanah pengganti tidak tersedia di desa setempat tanah pengganti dapat berlokasi dalam satu kecamatan dan/atau desa dikecamatan lain yang berbatasan langsung.

Tukar menukar tanah milik desa bukan untuk kepentingan umum dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. ditetapkan dengan Peraturan Desa tentang tukar menukar Tanah milik desa;
  2. Peraturan Desa ditetapkan setelah mendapat ijin dari Bupati/Walikota, Gubernur, dan persetujuan Menteri;
  3. Sebelum Bupati menerbitkan ijin, terlebih dahulu membentuk Tim Kajian Kabupaten/Kota;
  4. Tim Kajian Kabupaten/Kota keanggotaannya terdiri dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait yang disesuaikan dengan kebutuhan serta ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota;
  5. Tim Kajian Kabupaten/Kota dengan mengikutsertakan tenaga
    penilai;
  6. Tim Kajian Kabupaten/Kota melakukan pengkajian berupa peningkatan ekonomi desa, menguntungkan desa, dan tidak merugikan aset desa; dan
  7. Hasil kajian sebagai bahan pertimbangan;
  8. hasil kajian disampaikan kepada Gubernur untuk permohonan
    ijin.

Tukar-Menukar : TANAH KAS DESA SELAIN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
DAN BUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Tanah milik Desa berada di Luar Desa atau tanah milik desa tidak satu hamparan yang terhimpit oleh hamparan tanah pihak lain dan/atau tanah milik desa yang didalamnya terdapat tanah pihak lain dapat dilakukan tukar menukar ke lokasi desa setempat.

Aset desa yang ditukarkan dihapus dari daftar inventaris aset Desa dan penggantinya dicatat dalam daftar inventaris aset Desa.

REFERENSI :

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
  5. Peraturan Kementerian Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa
  6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Aset Desa.
  7. Jurnal Hukum Adigama, Syihabudin Sya’ban S. P. & Hanaf Tanawijaya, “Eksistensi Tanah Bengkok Setelah Berubahnya Pemerintah Desa Menjadi Pemerintah Kelurahan (Studi Kasus Di Wilayah Kelurahan Kelapa Dua Dan Kelurahan Bencongan, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang)”, Volume 2 Nomor 2, Desember 2019 E-ISSN : 2655-7347.
SEKILAS PANDANG HUKUM KEPAILITAN INDONESIA

SEKILAS PANDANG HUKUM KEPAILITAN INDONESIA

Hukum kepailitan memiliki peranan penting dalam dunia usaha. Semakin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan maka makin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat. Sebagaimana salah satu tujuan hukum yaitu memberikan perlindungan hukum, maka Hukum Kepailitan juga memberikan jaminan kepastian penyelesaian sengketa utang piutang para pelaku usaha dengan mengatur kepentingan masing-masing pihak.

DASAR HUKUM

krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional sehingga menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya.

Sehingga pada saat itu salah satu sarana hukum untuk penyelesaian utang piutang, Undang-undang tentang Kepailitan (Faillissements-verordening, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) . Namun beberapa waktu kemudian, sebagian besar materinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, dan oleh karena itu telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang- Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.

Akan tetapi perubahan tersebut belum juga memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat. Oleh karena itulah dibentuk Undang-undang yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan masih berlaku hingga saat ini.

PENGERTIAN​

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.

Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan.

Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

SYARAT PAILIT

Syarat kepailitan adalah :

  1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor (Terdapat minimal 2 orang Kreditor); dan
  2. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang, dan utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih).
  3. Atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.

Permohonan pailit dapat juga diajukan oleh:

  • Permohonan untuk kepentingan umum : dapat juga diajukan oleh kejaksaan
  • Debitor adalah bank : hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia;
  • Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian : hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal
  • Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik : hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan

ASAS HUKUM KEPAILITAN
Hukum kepailitan didasarkan pada asas-asas dan prinsip-prinsip sebagai berikut :

  1. Asas Kejujuran
  2. Asas kesehatan usaha
  3. Asas Keadilan
  4. Asas Integrasi
  5. Asas Itikad baik
  6. Asas nasionalitas

Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah :

  1. Asas Keseimbangan
    Yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
  2. Asas Kelangsungan Usaha
    Dalam Undang-Undang tersebut, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
  3. Asas Keadilan
    Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangwenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
  4. Asas Integrasi
    Bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Undang-undang tersebut diharapkan dapat menjadi sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif.

Perlindungan hukum yang diberikan Undang-undang kepailitan bagi kreditor salah satunya adalah dengan adanya actio paulinaActio Paulina sejak semula telah diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata, dimana hal ini memberikan hak kepada kreditor untuk mengajukan pembatalan atas setiap tindakan hukum yang tidak diwajibkan dilakukan oleh debitor, baik dengan nama apapun yang dapat merugikan kreditor.

Pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa action pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana Debitor, Kreditor, Kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya.

Referensi:

  1. ​Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
  2. Dedy Tri Hartono. 2016. Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan ang-Undang Kepailitan. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion. Edisi I Volume 4, Tahun 2016.
HUKUM ACARA  PENGADILAN NIAGA : PERKARA KEPAILITAN & PKPU

HUKUM ACARA PENGADILAN NIAGA : PERKARA KEPAILITAN & PKPU

Pasal 299 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) mengatur bahwa kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata.

Baca juga PENGADILAN NIAGA

Hukum acara perdata adalah peraturan yang mengatur tentang cara menjamin ditaatinya/ dilaksanakannya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim yang meliputi tata cara mengajukan tuntutan hak, membuktikan adanya suatu hak dan menetapkan / memutus adanya suatu hak serta melaksanakan hak tersebut.

Hukum acara perdata berfungsi sebagai suatu panduan bagi Hakim dan pencari keadilan di dalam menyelesaikan perkara perdata oleh karena hukum acara perdata memberikan petunjuk atau jalan kepada Hakim dan para pihak yang bersengketa perihal tata cara menyelesaikan perkara yang dihadapi melalui jalur hukum di pengadilan.

Pengadilan Niaga adalah suatu Pengadilan Khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum, yang dibentuk dan bertugas menerima, memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain dibidang perniagaan, yang penetapannya dilakukan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

PERKARA KEPAILITAN

​Permohonan pernyataan pailit didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga, tempat domisili debitur (Pasal 6 ayat 1 jo. Pasal 2 UUK-PKPU).

Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (Pasal 6 ayat 4 UUK-PKPU).

Ketua Pengadilan Niaga, mempelajari, menetapkan Majelis Hakim, hari sidang pertama (maksimal 3 hari) (pasal 6 ayat 5 UUK-PKPU).

Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Pengadilan wajib memanggil Debitor, pemanggilan sidang dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang I (pertama) dilaksanakan (Pasal 8 ayat (2) UUK-PKPU).

Baca juga Syarat Kepilitan di
SEKILAS PANDANG HUKUM KEPAILITAN INDONESIA

PERMOHONAN PKPU

Permohonan PKPU dapat diajukan dalam 2 (dua) hal:

  1. Permohonan PKPU yang diajukan setelah permohonan pernyataan pailit;
  2. Permohonan PKPU yang diajukan tersendiri.

Permohonan PKPU adalah:

  1. Debitor
    Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian.
  2. Kreditor
    Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor diberi PKPU, untuk memungkinkan Debitor mengajukan rencana perdamaian.

​Permohonan Yang Diajukan Dari Kreditor:

  1. Surat permohonan berisi identitas lengkap pemohon, bermeterai dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga;
  2. Kartu identitas sebagai advokat;
  3. Surat kuasa khusus;
  4. Akta pendirian, perusahaan, jika pemohon adalah perusahaan/yayasan/asosiasi yang dilegalisir oleh Kantor Perdagangan paling lambat satu minggu sebelum permohonan didaftar;
  5. Surat Perjanjian Utang (Loan Agreement) atau bukti lainnya yang menunjukkan adanya perjanjian;
  6. Perincian utang yang tidak dibayar;
  7. Nama dan alamat masing-masing kreditor/debitor;
  8. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia, jika ada dokumen atau bukti dalam bahasa asing dan diterjemahkan oleh penterjemah resmi.

Permohonan dari Debitor (Perorangan):

  1. Surat Permohonan berisi identitas lengkap Pemohon, bermeterai dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Niaga;
  2. Izin Advokat/Kartu Identitas sebagai Advokat;
  3. Surat Kuasa Khusus;
  4. Surat tanda bukti diri suami/istri yang masih berlaku (KTP/Paspor/SIM) dan Akta Perkawinan suami/istri;
  5. Persetujuan suami/istri;
  6. Daftar asset dan Tanggungan;
  7. Neraca pembukuan (dalam hal perorangan memiliki Perusahaan).

TEKNIS PERADILAN

​​

  1. Proses Pemanggilan;
  2. Pemeriksaan di Persidangan.
  3. Putusan;
  4. Pengurusan dan Pemberesan;
  5. Hal-hal lain yang berkaitan dengan kepailitan.

Proses Pemanggilan

  1. Pengadilan wajib memanggil Debitor dalam hal permohonan diajukan oleh Kreditor;
  2. Pengadilan dapat memanggil Kreditor dalam hal permohonan diajukan oleh Debitor dan terdapat keraguan terhadap persyaratan untuk dinyatakan pailit;
  3. Panggilan dilakukan oleh Jurusita dengan Surat Kilat Tercatat;
  4. Panggilan harus dilakukan oleh Jurusita paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sebelum sidang;
  5. Dalam hal panggilan kepada Termohon, diberitahukan pula tentang daftar dokumen yang telah diajukan oleh Pemohon bersamaan dengan permohonannya.

Pemeriksaan di Persidangan

  1. Pada persidangan pertama Majelis Hakim Wajib meneliti kelengkapan formal antara lain identitas Pemohon, Advokat, surat kuasa khusus, dll;
  2. Perdamaian tidak ditawarkan sebagaimana dalam perkara perdata biasa;
  3. Termohon didengar keterangannya mengenai permohonan dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon;
  4. Setelah Termohon didengar, dilanjutkan dengan acara pembuktian tanpa adanya tahap replik, duplik, intervensi maupun rekonvensi;
  5. Pengadilan dapat menunda sidang atas permohonan Debitor berdasarkan alasan yang cukup, paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak tanggal permohonan di daftarkan;
  6. Pengadilan mengabulkan permohonan pernyataan pailit apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 telah terpenuhi;
  7. Apabila dalam sidang pertama Pemohon tidak hadir, padahal panggilan telah disampaikan secara sah (patut), maka perkara dinyatakan gugur;
  8. Jika Termohon tidak pernah datang di persidangan meskipun telah dipanggil secara patut, Pengadilan melanjutkan pemeriksaan dan mengambil keputusan;
  9. Dalam hal keterangan Termohon berisi penyangkalan, maka harus pula disertai bukti-bukti yang dimilikinya;
  10. Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diajukan secara bersamaan, permohonan PKPU harus diputus terlebih dahulu;
  11. Untuk keperluan perlindungan terhadap Kreditor, Pengadilan jika diminta, dapat meletakan sita jaminan dan menunjuk Kurator sementara untuk:
    1. Mengawasi pengelolaan usaha Debitor;
    2. Mengawasi pembayaran kepada Kreditor, pengalihan atau pengagunan kekayaan Debitor;
  12. Pengadilan dapat menetapkan syarat agar Kreditor yang mengajukan permohonan sita jaminan dan penunjukan Kurator sementara untuk memberikan jaminan dalam jumlah yang dianggap wajar;
  13. Untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor sebelum pernyataan pailit di tetapkan (actio pouliana);
  14. Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lama 60 (enam puluh) hari kalender setelah permohonan pernyataan pailit di daftarkan;

Click to set custom HTML

Putusan

  1. Dalam permohonan pernyataan pailit dikabulkan, amar putusan memuat:
    1. Pernyataan pailit Debitor;
    2. Penunjukan Hakim Pengawas;
    3. Pengangkatan Kurator;
    4. Imbalan Jasa Kurator dan biaya kepailitan;
      Pembebanan 
  2. Dalam hal permohonan PKPU dikabulkan, amar putusan memuat:
    1. Pernyataan PKPU dikabulkan;
    2. Penunjukan Hakim Pengawas;
    3. Pengangkatan Pengurus;
    4. Imbalan Jasa Pengurus;
    5. Pembebanan biaya perkara;
  3. Salinan putusan Pengadilan wajib disampaikan oleh jurusita dengan surat kilat tercatat kepada Debitor, Pemohon, Kurator, dan Hakim Pengawas, paling lambat 3 (tiga) hari kalender setelah tanggal putusan di ucapkan;
  4. Kurator harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara (Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Kepailitan)
  5. Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera Debitor (Pasal 31 ayat (1) UUK-PKPU)
  6. Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya (Pasal 31 ayat (2) UUK-PKPU)
  7. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 93, Debitor yang sedang dalam penyanderaan harus dilepaskan seketika setelah putusan pailit diucapkan;
  8. Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula abritase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU.

Pengurusan dan Pemberesan

  1. Kreditor;
  2. Verifikasi;
  3. Perdamaian;
  4. Homologasi;
  5. Insolvensi;
  6. Pemberesan;
  7. Rehabilitasi;

Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengan Kepailitan

  1. Actio Pauliana
    1. Gugatan Pembatalan terhadap perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pailit diucapkan.
    2. Gugatan Actio Pouliana diajukan oleh Kurator tidak harus diwakili oleh Advokat.
  2. Renvoi Prosedur
    1. Dalam hal terdapat perselisihan mengenai jumlah piutang dalam rapat pencocokan piutang (verifikasi), Hakim pengawas memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di Pengadilan Niaga;
    2. Terhadap sengketa mengenai perselisihan utang diperiksa oleh Majelis Hakim;Pemeriksaan terhadap perkara Renvoi Prosedur dilakukan secara sederhana;
    3. Upaya hukum yang dapat diajukan atas putusan Majelis Pemutus adalah mengajukan Kasasi.
  3. Penangguhan pelaksanaan menjual sendiri hak tanggungan (Stay )
    Hak eksekusi Kreditor Pemegang Gadai, Jaminan Fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan (Pasal 56 ayat (1) UUK-PKPU

​UPAYA HUKUM

  • Atas putusan pailit oleh Pengadilan Niaga tidak dapat diajukan upaya hukum banding.  Akan tetapi langsung dilakukan upaya kasasi (Pasal 11 ayat (1) UUK-PKPU).
  • Permohonan kasasi selain dapat diajukan oleh Debitor dan Kreditor yang merupakan pihak  pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh Kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama (Intervensi Pihak Ke Tiga) yang tidak puas putusan atas permohonan pernyataan pailit (Pasal 11 ayat (3) UUK-PKPU).

Proses Kasasi

  1. Paling lambat 8 (delapan) hari setelah putusan diucapkan, pengajuan dan pendaftaran permohonan kasasi diajukan kepada Panitera Pengadilan Niaga (Pasal 11 ayat (2) UUK-PKPU) dan juga wajib menyerahkan memori kasasi pada hari yang sama pada saat permohonan kasasi didaftarkan (Pasal 12 ayat (1) UUK-PKPU);
  2. Panitera Pengadilan Niaga mengirim permohonan kasasi kepada pihak terkasasi 2 (dua) hari setelah pendaftaran permohonan kasasi (Pasal 12 ayat (2) UUK-PKPU);
  3. Pihak Termohon Kasasi dapat menyampaikan kontra memori kasasi kepada pihak Panitera Pengadilan Niaga selama 7 (tujuh) hari setelah pihak Termohon Kasasi menerima dokumen kasasi (Pasal 12 ayat (3) UUK-PKPU);
  4. Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pendaftaran permohonan kasasi, Panitera Pengadilan Niaga menyampaikan berkas kasasi (Permohonan, Memori Kasasi, Kontra Memori Kasasi (jika ada), beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Makhamah Agung (Pasal 12 ayat (4) UUK-PKPU);
  5. Mahkamah mempelajari dan menetapkan sidang selama 2 (dua) hari setelah permohonan diterima oleh Mahkamah Agung (Pasal 13 ayat (1) UUK-PKPU);.
  6. Sidang pemeriksaan permohonan kasasi dilaksanakan 20 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung (Pasal 13 ayat (2) UUK-PKPU);
  7. Putusan kasasi sudah harus jatuh paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung (Pasal 13 ayat (3) UUK-PKPU);
  8. Panitera pada Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada Kepaniteraan Pengadilan Niaga, paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi di ucapkan (Pasal 13 ayat (6) UUK-PKPU);
  9. Jurusita Pengadilan Niaga wajib menyampaikan putusan kepada pihak diterima Pengadilan Niaga (Pasal 13 ayat (7) UUK-PKPU).

Proses Peninjauan Kembali Pasal 295 s/d 298 UUK-PKPU.

  1. Terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
  2. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan, apabila:
    1. setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau
    2. dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.
  3. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan ditemukan bukti baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (2) huruf a, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.
  4. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan terdapat kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (2) huruf b, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.
  5. Permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada Panitera Pengadilan;
  6. Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297 ayat (1);
  7. Panitera Pengadilan mendaftar permohonan peninjauan kembali pada tanggal permohonan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani Panitera Pengadilan dengan tanggal yang sama dengan tanggal permohonan didaftarkan;
  8. Panitera Pengadilan menyampaikan permohonan peninjauan kembali kepada Panitera Mahkamah Agung dalam jangka waktu 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan;
  9. Panitera Pengadilan menyampaikan salinan permohonan peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan;
  10. Pihak termohon dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan;
  11. Panitera Pengadilan wajib menyampaikan jawaban sebagaimana dimaksud diatas kepada Panitera Mahkamah Agung, dalam jangka waktu paling lambat 12 (dua belas) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan;
  12. Mahkamah Agung segera memeriksa dan memberikan putusan atas permohonan peninjauan kembali dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung;
  13. Putusan atas permohonan peninjauan kembali harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;
  14. Dalam jangka waktu paling lambat 32 (tiga puluh dua) hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung, Mahkamah Agung wajib menyampaikan kepada para pihak salinan putusan peninjauan kembali yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut.

Pedoman lebih detailnya dapat dibaca pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 Tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

PERJANJIAN

PERJANJIAN

Perjanjian adalah kesepakatan antara subjek hukum (orang atau badan hukum) mengenai sesuatu perbuatan hukum yang memberikan suatu akibat hukum yang sebagaimana dimaksud pada pasal 1313 KUHperdata.

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), menyebutkan bahwa: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

SYARAT SAH PERJANJIAN

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata:

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.

​KESEPAKATAN MEREKA YANG MENGIKATKAN DIRINYA

Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan (dwaling, mistake), paksaan (dwang, dures), dan penipuan (bedrog, fraud). Secara a contrario, berdasarkan pasal 1321 KUHPer, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.

KECAKAPAN UNTUK MEMBUAT SUATU PERJANJIAN

Menurut pasal 1329 KUHPer, pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang.

Apa Yang Membuat Seseorang Dikatakan Tidak Cakap Menurut Hukum ?

Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah:

  1. Belum Dewasa
    Terdapat perbedaan batas usia belum dewasa yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah sebagai berikut:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :
      “belum dewasa” ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dengan dewasa.
    2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019:
      Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun;
    3. UU Jabatan Notaris:
      Paling sedikit berusia 18 tahun atau telah menikah;
    4. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
      Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun;
    5. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan: Anak pidana, anak negara dan anak sipil adalah sampai usia 18 (delapan belas) tahun;
    6. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: Pada intinya anak adalah yang belum belum berumur 18 (delapan belas) tahun;
    7. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya;
    8. KUH Perdata:
      Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya;
    9. Kompilasi Hukum Islam:
      Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan;
    10. Dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang tidak seluruhnya disebutkan pada tulisan ini.
  1. Orang Yang Ditaruh Di Bawah Pengampuan

    ​Orang Yang Ditaruh Di Bawah Pengampuan:

  • Orang Gila
  • Hilang Ingatan
  • Orang-orang di bawah pengampuan yang semua perbuatan hukumnya diwakili oleh pengampunya, contohnya adalah orang yang pailit terhadap harta pailitnya, pemboros, pemabuk, penjudi.
  • Wanita bersuami
    Terkait poin wanita bersuami ini dapat dikatakan tidak relevan lagi, yaitu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963, mengatur bahwa seorang istri berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Dan juga Pasal 79 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur bahwa “masing-masing pihak (suami dan istri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum”, artinya adalah memiliki kedudukan yang sama dalam melakukan perbuatan hukum.

Suami atau istri dalam hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang juga dapat dikatakan tidak cakap, dalam hal ini tidak memiliki kewenangan bertindak. Misalnya dalam melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan harta bersama maka harus saling memberikan persetujuan kecuali bila ada perjanjian perkawinan.

Orang-orang yang Undang-Undang memperbolehkan atau melarangnya juga dapat dikatakan tidak cakap, dalam hal ini tidak memiliki kewenangan bertindak. Misalnya menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas yang dapat mewakili perbuatan hukum PT adalah direktur, maka seorang manajer misalnya, dianggap tidak cakap untuk mewakili perusahaan tempatnya bekerja kecuali jika ada pemberian kuasa.

SUATU HAL TERTENTU

Hal tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan merupakah hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya. Misalnya apa yang diperjanjikan adalah barang yang memang miliknya, bukan milik orang lain.

Menurut pasal 1333 KUHPer, objek perjanjian tersebut harus mencakup pokok barang tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya.

Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa objek perjanjian adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan.

SEBAB YANG HALAL

Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Hal ini diatur dalam pasal 1337 KUHPer.

Dari butir  ini, dapat kita lihat bahwa suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang. Contohnya, Pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan mengatur adanya kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam kontrak:

“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.”

Jadi, untuk kontrak yang para pihaknya merupakan WNI, wajib untuk menggunakan Bahasa Indonesia.

Referensi:

  1. ​Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019;
  4. Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan ​UU Jabatan Notaris;
  5. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
  6. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
  7. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
  8. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
  9. Kompilasi Hukum Islam.
SUBJEK HUKUM

SUBJEK HUKUM

Apakah Anda adalah subjek hukum?
Yuk kita cek disini!

PENGERTIAN

Pengertian subjek hukum menurut para sarjana diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Subyek hukum menurut Subekti adalah pembawa hak atau subyek di dalam hukum yaitu orang. Menurut Subekti, di samping orang, badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan juga memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, dapat digugat, dan dapat juga menggugat di muka hakim.
  2. Subyek hukum menurut Mertokusumo adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum;
  3. Subyek hukum menurut Syahran adalah pendukung hak dan kewajiban;
  4. Subyek hukum menurut Chaidir Ali adalah manusia yang berkepribadian hukum, dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu dan oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban;
  5. Subyek hukum menurut Agra adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban sehingga mempunyai wewenang hukum atau disebut dengan Rechtsbevoegdheid.​

Subjek hukum dalam menjalankan perbuatan hukum memiliki wewenang. Wewenang  subjek  hukum terbagi menjadi dua. Pertama, wewenang untuk mempunyai  hak  (rechts-bevoegdheid). Kedua,  wewenang  untuk  melakukan (menjalankan)  perbuatan  hukum  dan faktor-faktor  yang  mempengaruhinya.

​Subjek hukum menurut Utrecht adalah suatu  pendukung  hak  yaitu  manusia atau  badan  yang  menurut  hukum berkuasa  menjadi  pendukung  hak. Suatu  subjek  hukum  mempunyai kekuasaan guna mendukung hak atau rechtsvoegdheid.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa subjek hukum adalah orang dan badan hukum.

ORANG

Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menunjukkan bahwa setiap manusia merupakan “orang” dalam hukum. Artinya bahwa setiap manusia memiliki hak-hak, khususnya hak-hak keperdataan. Dan hak keperdataan itu akan berakhir pada saat kematiannya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 KUH Perdata berikut ini:

Tiada suatu hukuman pun yang mengakibatkan kematian perdata, atau hilangnya segala hakhak kewargaan.

Hak-hak keperdataan tersebut dimulai saat kelahirannya. Bahkan anak yang masih dalam kandungan juga merupakan subjek hukum, apabila kepentingan menghendakinya. Misalnya adalah dalam perkara waris, anak yang masih di dalam kandungan juga diperhitungkan sebagai calon ahli waris.

Terkait dengan anak dalam kandungan tersebut, dapat dikatakan subjek hukum apabila memenuhi 2 syarat:

  1. Dilahirkan hidup
    Apabila anak yang dalam kandungan tersebut mati sewaktu dilahirkan, maka dianggap tidak pernah ada.
  2. Anak tersebut sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat suatu fakta/peristiwa hukum terjadi.

​Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 KUH Perdata berikut ini:

Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada.

Tidak  semua  manusia  mempunyai kewenangan  dan  kecakapan  untuk melakukan perbuatan hukum, Adapun orang yang dapat melakukan perbuatan hukum  adalah  orang  yang  cakap menurut  hukum.

                     Baca Juga PERJANJIAN

BADAN HUKUM

Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkumpulan, badan atau badan usaha dapat dikatakan badan hukum.

  1. Syarat Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

    ​Pasal 1653 KUH Perdata mengatur bahwa:

Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.

Syarat badan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan terbagi menjadi dua, yaitu syarat yang bersifat umum dan syarat yang bersifat khusus. Pasal 1653 KUH Perdata di atas merupakan syarat umum, yaitu:

  1. Dinyatakan dengan tegas, bahwa suatu badan atau organisasi
    adalah badan hukum;
  2. Tidak dinyatakan secara tegas tetapi dengan peraturan sedemikian rupa bahwa badan itu adalah badan hukum. oleh karena itu, dengan peraturan dapat ditarik kesimpulan bahwa badan itu adalah badan hukum.

Syarat khusus badan hukum diatur dalam peraturan khusus yang diatur lebih spesifik. Misalnya peraturan terkait yayasan.

  1. Syarat Berdasarkan Kebiasaan dan Yurisprudensi

    ​Kebiasaan dan yurisprudensi itu merupakan sumber hukum yang formal, sehingga apabila tidak ditemukan syarat-syarat badan hukum dalam
    perundang-undangan dan doktrin, orang berusaha mencarinya dalam
    kebiaasaan dan yurisprudensi.

    C. Syarat-Syarat Berdasarkan Doktrin

    Doktrin atau pendapat ahli hukum sering digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dan menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus suatu perkara. Doktrin atau anggapan dari kalangan hukum, baik pendapat seseorang atau beberapa sarjana/ahli hukum yang lazimnya Namanya terkenal. Anggapan atau tafsiran yang dibuat oleh ahli hukum itu mengenai peraturan hukum yang diigunakan ataupun yang hendak diselesaikan. Dalam ilmu hukum,doktrin digunakan sebagai salah satu sumber hukum yang formal. Seperti misalnya dalam masalaah badan hukum,anggapan atau pendapat ahli hukum sering digunakan untuk dasar memecahkan masalah yang dihadapi oleh seorang penulis maupun dasar keputusan hakim.

Salah satu contoh syarat menurut ahli adalah Maijers, bahwa suatu badan untuk dapat disebut sebagai badan hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Terdapat harta kekayaan terpisah lepas dari kekayaan anggotanya;
  2. Ada kepentingan bersama yang diakui dan dilindungi oleh hukum;
  3. Kepentingan tersebut haruslah stabil atau tidak terikat pada suatu waktu yang pendek saja, namun juga untuk waktu yang Panjang;
  4. Harus dapat ditunjukkan harta kekayaan tersebut tersendiri, yang tidak hanya untuk obyek tuntutan saja, tetapi juga untuk pemeliharaan kepentingan tertentu yang terlepas dari kepentingan anggotanya.

Sumber:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Harumiati Natadimaja. 2009. Hukum Perdata Mengenai Hukum Orang Dan Hukum Benda. Yogyakarta : Graha Ilmu;
  3. Dyah Hapsari Prananingrum. Telaah Terhadap Esensi Subjek Hukum: Manusia Dan Badan Hukum. Jurnal Vol. 8 No. 1;
  4. Utrecht. 1965. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. PT Penerbitan Universitas;
  5. Anwar Borahima. 2010. Kedudukan Yayasan di Indonesia : Eksistensi, Tujuan, dan Tanggung Jawab Yayasan. Kencana:Jakarta.