Harta Gono-Gini dalam Perceraian: Cara Pembagian yang Adil

Harta Gono-Gini dalam Perceraian: Cara Pembagian yang Adil

Perceraian merupakan salah satu peristiwa terputusnya atau berakhirnya suatu perkawinan. Peristiwa ini mengakibatkan perpisahan antara suami dan istri tidak masing – masing tidak lagi memiliki tugas serta kewajiban sebagai suami maupun sebagai istri. Perceraian tidak hanya berdampak emosional, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum, terutama dalam pembagian harta bersama atau yang dikenal sebagai harta gono-gini. Dalam hukum Indonesia, pembagian harta gono-gini diatur oleh Undang-Undang Perkawinan dan peraturan lainnya. Artikel ini akan membahas cara pembagian harta gono-gini yang adil sesuai dengan hukum positif berlaku.

Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama atau Harta Gono-Gini

Harta gono-gini adalah harta bersama yang diperoleh selama pernikahan, baik dari penghasilan suami maupun istri. Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi :

  1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
  2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”

Harta bersama merupakan harta yang didapatkan selama perkawinan, kecuali jika ada perjanjian perkawinan yang menyatakan lain.

Cara Pembagian Harta Gono-Gini dalam Perceraian

  • Berdasarkan Kesepakatan: Jika suami istri sepakat mengenai pembagian harta, maka bisa dilakukan secara musyawarah tanpa harus melalui proses pengadilan.
  • Melalui Pengadilan: Jika tidak ada kesepakatan, maka pengadilan akan menentukan pembagian harta berdasarkan prinsip keadilan dan keseimbangan.
  • Dalam Hukum Islam: Harta gono-gini dibagi secara adil, biasanya dengan pembagian 50:50 kecuali ditentukan lain di dalam perjanjian perkawinan. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam berbunyi : “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”

Kendala dan Solusi dalam Pembagian Harta Gono-Gini

  • Sengketa atas kepemilikan aset: Solusinya adalah menunjukkan bukti kepemilikan yang sah (kecuali untuk aset yang dibeli selama masa perkawinan kecuali ditentukan lain oleh perjanjian perkawinan, karena atas nama suami maupun atas nama istri aset yang dibeli selama dalam perkawinan merupakan harta bersama kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan)
  • Adanya hutang bersama: Hutang yang dibuat selama pernikahan juga harus diperhitungkan dalam pembagian harta.
  • Adanya harta pribadi: Harta yang diperoleh sebelum menikah atau yang diperoleh dari hibah, warisan, maupun hadiah bukan bagian dari harta gono-gini.

Penutup

Pembagian harta gono-gini dalam perceraian harus dilakukan dengan adil sesuai hukum yang berlaku. Penting bagi pasangan untuk memahami hak dan kewajibannya agar tidak terjadi sengketa berkepanjangan.

Saran

  1. Buat perjanjian perkawinan untuk menghindari sengketa harta di masa depan.
  2. Diskusikan secara terbuka dengan pasangan mengenai pembagian harta.
  3. Gunakan jasa notaris atau pengacara untuk memastikan proses pembagian harta berjalan dengan adil dan sesuai hukum.
Pernikahan Beda Agama: Apakah Bisa Dilegalkan di Indonesia?

Pernikahan Beda Agama: Apakah Bisa Dilegalkan di Indonesia?

Pernikahan beda agama menjadi salah satu isu hukum yang sering diperdebatkan di Indonesia. Banyak pasangan yang menghadapi tantangan besar ketika ingin menikah tetapi berasal dari agama maupun keyakinan yang berbeda. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan juga beberapa aturan lainnya telah mengatur aspek legalitas pernikahan, meskipun masih terdapat perbedaan dalam implementasinya. Artikel ini akan membahas apakah pernikahan beda agama dapat dilegalkan di Indonesia, bagaimana tantangan hukumnya, serta beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh pasangan.

Ketentuan Hukum Perkawinan di Indonesia

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia mengatur bahwa pernikahan dianggap sah apabila dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing pasangan. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”

Hal ini berarti bahwa pernikahan beda agama berpotensi mengalami kendala jika agama maupun keyakinan yang dianut oleh kedua mempelai tidak mengizinkan pernikahan lintas agama. Di sisi lain, pencatatan pernikahan juga menjadi syarat penting agar pernikahan tersebut sah menurut hukum negara.

Tantangan dan Hambatan Hukum dalam Pernikahan Beda Agama

Pasangan beda agama di Indonesia menghadapi berbagai tantangan hukum, diantaranya:

  • Tidak semua agama memperbolehkan pernikahan beda agama, misalnya dalam Islam, pernikahan antara seorang wanita Muslim dengan pria non-Muslim tidak diperbolehkan.
  • Kesulitan dalam pencatatan pernikahan, karena Kantor Urusan Agama (KUA) hanya mencatat pernikahan yang sesuai dengan hukum Islam, sedangkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) memerlukan bukti sahnya pernikahan menurut agama masing-masing.
  • Potensi pernikahan dianggap tidak sah, jika tidak memenuhi syarat agama dan tidak dicatatkan secara resmi, maka pernikahan bisa dianggap tidak memiliki kekuatan hukum.

Solusi dan Alternatif untuk Pernikahan Beda Agama

Bagi pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama, terdapat praktik yang sering dilakukan oleh pasangan beda agama, antara lain :

  • Menikah di luar negeri: Beberapa pasangan memilih untuk menikah di negara yang mengizinkan pernikahan beda agama, lalu mendaftarkan pernikahannya di Indonesia.
  • Menggunakan mekanisme penetapan pengadilan: Dalam beberapa kasus, pasangan mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan penetapan sahnya pernikahan mereka.
  • Salah satu pasangan berpindah agama sementara: Meskipun ini adalah pilihan kontroversial, beberapa pasangan memilih untuk mengikuti agama pasangannya agar pernikahan bisa diakui secara agama dan hukum.

Praktik – praktik di atas, dalam dunia hukum seringkali disebut penyelundupan hukum. Menurut Suparman Usman, dalam Pengantar Hukum Perdata Internasional, mendefinisikan Penyelundupan hukum adalah apabila seorang atau suatu pihak untuk mendapatkan berlakunya hukum asing, telah melakukan suatu cara yang tidak wajar, dengan maksud untuk menghindari pemakaian hukum nasional, menghindarkan suatu akibat hukum tertentu yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dikehendaki. Penyelundupan hukum dimaksudkan untuk mengesampingkan hukum nasional yang berlaku.

Penutup

Pernikahan beda agama di Indonesia memang memiliki tantangan hukum yang kompleks. Meskipun Undang-Undang Perkawinan tidak secara eksplisit melarangnya, prosedur pencatatan pernikahan tetap menjadi kendala utama. Oleh karena itu, pasangan yang berencana menikah dalam kondisi ini harus memahami regulasi yang berlaku dan mencari solusi hukum yang sesuai.

Saran

Bagi pasangan yang ingin menikah beda agama, beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:

  1. Berkonsultasi dengan lembaga hukum atau notaris untuk memahami konsekuensi dan solusi hukum yang tersedia.
  2. Mencari alternatif pencatatan pernikahan seperti menikah di luar negeri atau melalui penetapan pengadilan.
  3. Menyiapkan dokumen hukum yang lengkap, termasuk perjanjian pernikahan jika diperlukan untuk melindungi hak masing-masing pihak.

Dengan pemahaman yang baik mengenai hukum pernikahan beda agama, pasangan dapat membuat keputusan yang lebih tepat dan memastikan bahwa pernikahan mereka memiliki legalitas yang kuat di Indonesia.

Syarat Sah Pernikahan di Indonesia: Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata

Syarat Sah Pernikahan di Indonesia: Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata

Pernikahan merupakan ikatan sakral yang tidak hanya diakui secara sosial dan agama, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum yang penting. Di Indonesia, pernikahan diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengakomodasi berbagai aturan agama dan hukum perdata. Namun, ada perbedaan mendasar dalam syarat sah pernikahan antara hukum Islam dan hukum perdata. Artikel ini akan membahas perbedaan tersebut serta implikasinya bagi pasangan yang ingin menikah.

Syarat Sah Pernikahan Menurut Hukum Islam

Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hukum Islam, pernikahan dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan.

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), syarat sah pernikahan dalam Islam meliputi:

1. Calon mempelai pria dan wanita

Calon mempelai pria dan Wanita yang memenuhi syarat, diantaranya :

  • Telah mencapai umur yang ditetapkan oleh undang-undang
  • Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Apabila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
  • Tidak terdapat halangan perkawinan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam, Bab VI Larangan Kawin.

2. Adanya wali nikah bagi mempelai Wanita

Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim, aqil dan baligh. Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka

3. Dua orang saksi

Saksinya yaitu laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

4. Akad Nikah / Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria

5. Mas kawin atau mahar

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam Islam penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan. Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.

Jika syarat di atas terpenuhi, pernikahan dianggap sah secara agama meskipun belum dicatatkan di KUA atau catatan sipil.

Syarat Sah Pernikahan Menurut Hukum Perdata

Hukum perdata di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Perkawinan dan aturan administratif lainnya. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha esa. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Berikut adalah syarat sah pernikahan menurut hukum perdata:

1. Persetujuan kedua belah pihak

Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Minimal usia pernikahan

Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Apabila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

3. Tidak ada larangan pernikahan,

Larangan pernikahan yang dimaksud seperti hubungan sedarah atau sudah memiliki pasangan yang sah kecuali dalam kondisi tertentu yang diperbolehkan hukum.

4. Pencatatan pernikahan

Pencatatan Pernikahan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan Muslim, dan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bagi pasangan non-Muslim. Hal ini sebagaimana ketentuan Undang – Undang Perkawinan, Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

5. Akta nikah sebagai bukti hukum

Akta nikah sebagai bukti hukum yang memberikan perlindungan hukum bagi pasangan suami-istri serta anak-anak mereka.

Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata dalam Pernikahan

Perbedaan mendasar antara hukum Islam dan hukum perdata dalam pernikahan adalah aspek pencatatan dan perlindungan hukum:

  • Dalam hukum Islam, pernikahan tetap sah meskipun tidak dicatatkan, tetapi berisiko secara hukum.
  • Dalam hukum perdata, pencatatan pernikahan menjadi syarat mutlak untuk memperoleh pengakuan hukum dan hak-hak sebagai suami istri.
  • Hukum Islam mengharuskan wali nikah, sementara hukum perdata tidak selalu mengatur kewajiban wali bagi pasangan non-Muslim.
  • Sistem hukum perdata memberikan perlindungan lebih kuat dalam hal warisan, perceraian, dan hak-hak anak karena adanya dokumen resmi.

Penutup

Memahami perbedaan syarat sah pernikahan dalam hukum Islam dan hukum perdata sangat penting bagi pasangan yang ingin menikah. Meskipun pernikahan secara agama sudah dianggap sah, pencatatan dalam hukum perdata tetap diperlukan agar pasangan mendapatkan perlindungan hukum yang optimal. Oleh karena itu, calon pengantin sebaiknya memastikan bahwa pernikahan mereka tidak hanya sah menurut agama tetapi juga diakui oleh negara.

Saran

Bagi pasangan yang akan menikah, disarankan untuk:

  1. Mengurus pencatatan pernikahan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia agar memiliki perlindungan hukum.
  2. Memahami hak dan kewajiban dalam pernikahan, baik dari segi agama maupun hukum perdata.
  3. Berkonsultasi dengan pihak yang berwenang, seperti KUA atau Dinas Kependudukan, untuk memastikan semua persyaratan terpenuhi sebelum melangsungkan pernikahan.

Dengan memenuhi syarat pernikahan secara hukum dan agama, pasangan dapat membangun kehidupan rumah tangga yang sah, harmonis, dan memiliki perlindungan hukum.

 

pytagoals

Pytagoals.com

pytagoals.com

Saya berharap dengan sedikit ilmu dan pengalaman yang saya bagikan melalu website ini dapat menjadi manfaat masyarakat umum.

Cara menghubungi saya :
Instagram : @pyta07_2
Facebook : Happyta NJ

Disclaimer : Dengan mengakses https://pytagoals.com ini Anda dianggap telah mengerti dan menyetujui seluruh syarat dan kondisi yang berlaku dalam penggunaan blog ini, sebagaimana tercantum disini

Pytagoals.com Copyright @ 2021, Support by Dokter Website