Pernikahan merupakan ikatan sakral yang tidak hanya diakui secara sosial dan agama, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum yang penting. Di Indonesia, pernikahan diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengakomodasi berbagai aturan agama dan hukum perdata. Namun, ada perbedaan mendasar dalam syarat sah pernikahan antara hukum Islam dan hukum perdata. Artikel ini akan membahas perbedaan tersebut serta implikasinya bagi pasangan yang ingin menikah.
Syarat Sah Pernikahan Menurut Hukum Islam
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hukum Islam, pernikahan dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), syarat sah pernikahan dalam Islam meliputi:
1. Calon mempelai pria dan wanita
Calon mempelai pria dan Wanita yang memenuhi syarat, diantaranya :
- Telah mencapai umur yang ditetapkan oleh undang-undang
- Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Apabila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
- Tidak terdapat halangan perkawinan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam, Bab VI Larangan Kawin.
2. Adanya wali nikah bagi mempelai Wanita
Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim, aqil dan baligh. Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka
3. Dua orang saksi
Saksinya yaitu laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
4. Akad Nikah / Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria
5. Mas kawin atau mahar
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam Islam penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan. Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
Jika syarat di atas terpenuhi, pernikahan dianggap sah secara agama meskipun belum dicatatkan di KUA atau catatan sipil.
Syarat Sah Pernikahan Menurut Hukum Perdata
Hukum perdata di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Perkawinan dan aturan administratif lainnya. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha esa. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Berikut adalah syarat sah pernikahan menurut hukum perdata:
1. Persetujuan kedua belah pihak
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Minimal usia pernikahan
Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Apabila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
3. Tidak ada larangan pernikahan,
Larangan pernikahan yang dimaksud seperti hubungan sedarah atau sudah memiliki pasangan yang sah kecuali dalam kondisi tertentu yang diperbolehkan hukum.
4. Pencatatan pernikahan
Pencatatan Pernikahan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan Muslim, dan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bagi pasangan non-Muslim. Hal ini sebagaimana ketentuan Undang – Undang Perkawinan, Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
5. Akta nikah sebagai bukti hukum
Akta nikah sebagai bukti hukum yang memberikan perlindungan hukum bagi pasangan suami-istri serta anak-anak mereka.
Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata dalam Pernikahan
Perbedaan mendasar antara hukum Islam dan hukum perdata dalam pernikahan adalah aspek pencatatan dan perlindungan hukum:
- Dalam hukum Islam, pernikahan tetap sah meskipun tidak dicatatkan, tetapi berisiko secara hukum.
- Dalam hukum perdata, pencatatan pernikahan menjadi syarat mutlak untuk memperoleh pengakuan hukum dan hak-hak sebagai suami istri.
- Hukum Islam mengharuskan wali nikah, sementara hukum perdata tidak selalu mengatur kewajiban wali bagi pasangan non-Muslim.
- Sistem hukum perdata memberikan perlindungan lebih kuat dalam hal warisan, perceraian, dan hak-hak anak karena adanya dokumen resmi.
Penutup
Memahami perbedaan syarat sah pernikahan dalam hukum Islam dan hukum perdata sangat penting bagi pasangan yang ingin menikah. Meskipun pernikahan secara agama sudah dianggap sah, pencatatan dalam hukum perdata tetap diperlukan agar pasangan mendapatkan perlindungan hukum yang optimal. Oleh karena itu, calon pengantin sebaiknya memastikan bahwa pernikahan mereka tidak hanya sah menurut agama tetapi juga diakui oleh negara.
Saran
Bagi pasangan yang akan menikah, disarankan untuk:
- Mengurus pencatatan pernikahan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia agar memiliki perlindungan hukum.
- Memahami hak dan kewajiban dalam pernikahan, baik dari segi agama maupun hukum perdata.
- Berkonsultasi dengan pihak yang berwenang, seperti KUA atau Dinas Kependudukan, untuk memastikan semua persyaratan terpenuhi sebelum melangsungkan pernikahan.
Dengan memenuhi syarat pernikahan secara hukum dan agama, pasangan dapat membangun kehidupan rumah tangga yang sah, harmonis, dan memiliki perlindungan hukum.