MENGUNGKAP PERAN PENTING NOTARIS DALAM TRANSAKSI HUKUM

MENGUNGKAP PERAN PENTING NOTARIS DALAM TRANSAKSI HUKUM

Anda mungkin pernah berurusan dengan notaris jika Anda pernah terlibat dalam transaksi properti, pembuatan wasiat, atau perjanjian lainnya. Peran notaris dalam transaksi hukum sangat penting dan tidak boleh diabaikan, meskipun mereka mungkin bertindak di belakang layar. Mari kita bahas lebih dalam peran penting notaris dalam menjamin keabsahan dan keamanan transaksi hukum.

Memastikan Keabsahan dan Keamanan Transaksi

Notaris memiliki tugas utama untuk memastikan bahwa transaksi hukum yang Anda lakukan adalah sah dan sah secara hukum. Tugas notaris termasuk memeriksa dokumen yang terkait dengan transaksi untuk memastikan bahwa semua persyaratan hukum dipenuhi dan untuk mengonfirmasi identitas semua pihak yang terlibat. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mencegah sengketa di masa depan yang dapat terjadi karena kelalaian atau pelanggaran hukum.

Menyediakan Akta Otentik dan Legalisasi Dokumen

Satu hal yang membedakan peran notaris adalah kemampuan mereka untuk membuat akta otentik. Akta otentik adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris dan memiliki status hukum yang lebih kuat dan sulit dipersoalkan di pengadilan, karena memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Selain itu, tugas notaris juga mencakup legalisasi dokumen. Ini mencakup proses mengesahkan tanda tangan di dokumen tertentu, yang memastikan bahwa tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang sah dan legal.

Melindungi Kepentingan Semua Pihak yang Terlibat

Notaris harus bersikap adil dan objektif dalam memastikan bahwa semua perjanjian dihormati dan dijalankan dengan benar karena notaris tidak hanya mewakili satu pihak dalam transaksi tetapi juga bertindak sebagai pihak netral yang melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat.

Menghilangkan Risiko Hukum dan Sengketa di Masa Depan

Risiko hukum dan sengketa selalu ada dalam transaksi hukum. Mengurangi risiko ini adalah peran notaris dalam memeriksa dokumen, mengklarifikasi ketentuan, dan mengonfirmasi identitas semua pihak. Anda dapat merasa lebih aman dan yakin bahwa transaksi Anda dilakukan dengan benar dan sah dengan menggunakan jasa notaris.

Kesimpulan: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa di Dunia Hukum

Di dunia hukum, notaris dapat dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa karena banyaknya tugas dan tanggung jawab yang mereka miliki. Di balik layar, mereka bekerja untuk memastikan transaksi hukum berjalan dengan lancar, sah, dan bebas dari sengketa. Oleh karena itu, saat Anda menghadapi notaris, ingatlah bahwa Anda berurusan dengan orang yang bertanggung jawab untuk melindungi hak dan kepentingan Anda dalam dunia hukum.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN AKIBAT ADANYA PERUBAHAN ATAU PERBAIKAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN AKIBAT ADANYA PERUBAHAN ATAU PERBAIKAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN)

Halo teman-teman, tulisan kali ini tentang yurisprudensi Mahkamah Agung dalam bidang Tata Usaha Negara, yaitu terkait dengan perlindungan hukum terhadap pihak yang berkepentingan atau memiliki hak, yang mana hak tersebut diperoleh dengan cara yang sah, tetapi harus dibatalkan akibat adanya perubahan atau perbaikan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Adapun putusan aslinya teman-teman bisa langsung download di wesite direktori Mahkamah Agung.

Kaidah Hukum pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1/Yur/TUN/2018

Perbaikan terhadap keputusan tata usaha negara yang keliru oleh pejabat tata usaha negara, sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh pejabat tersebut, tidak boleh merugikan kepentingan pihak lain yang memperoleh keputusan dengan cara yang sah dan itikad baik.

LATAR BELAKANG 

A. Asal Putusan

Asal Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1/Yur/TUN/2018 adalah Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi Nomor 421 K/TUN/2016 tanggal 1 Desember 2016.

B. Para Pihak

Para pihak yang berperkara adalah:

  1. Nyonya Margaretha Tjandra
  2. Hasan Anoez
  3. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agraria Dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Selatan
  4. Kepala Kantor Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Kota Makassar
  5. Peter David (Pieter David Phie)

C. Objek Sengketa

Objek sengketa pada perkara ini ada 2 (dua) yang selanjutnya akan disebut sebagai objek sengketa 1 dan objek sengketa 2, yaitu:

  1. Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 03/Pbt/BPN-73/2015, tanggal 9 Maret 2015 tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sulawesi Selatan Nomor 520.1/961/453/ 53-01/97, tanggal 8-7-1997 tentang Pemberian Hak Milik atas nama Dokter Hasan Anoez dan Sertifikat Hak Milik Nomor 2/Sawerigading (dulu Mangkura), tanggal 23 Juli 1997, luas 860 m² yang diuraikan dalam Surat Ukur Nomor 3 Tahun 1963 atas nama Dokter Hasan Anoez dan terakhir tercatat dalam Sertifikat dan Buku Tanah atas nama Nyonya Margaretha Tjandra, terletak di Jalan Botolempangan, Kelurahan Sawerigading (dahulu Kelurahan Mangkura), Kecamatan Ujung Pandang, Kotamadya Ujung Pandang (Sekarang kota Makassar) Propinsi Sulawesi Selatan, karena Cacat Hukum Administrasi;
  2. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar berupa Surat Keputusan Nomor 646/300.7-73.71/III/2015 tanggal 23 Maret 2015, hal: Permintaan menyerahkan Sertifikat yang ditujukan kepada Ny. Margaretha Tjandra.

D. Maksud dan Tujuan Gugatan

Agar dinyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sulawesi Selatan dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar, berupa Objek Sengketa 1 dan 2.

E. Peraturan Perundang-Undangan Terkait

Beberapa peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum dalam perkara ini antara lain adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
  2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan
  3. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan

F. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kota Makassar Nomor 43/G/2015/PTUN.MKS, Tanggal 16 November 2015

Beberapa Fakta-Fakta Hukum yang Terungkap di Persidangan:

  1. Bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 2/Sawerigading (Mangkura) tanggal 23 Juli 1997 Seluas 860 m², yang diuraikan dalam Surat Ukur Nomor 3 Tahun 1963, tanggal 9 Januari 1963 atas nama Dokter Hasan Anoez, telah beberapa kali berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara hingga telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
  2. Bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri mulai tingkat Pertama hingga Peninjauan Kembali, menunjukkan bahwa terhadap objek bidang tanah yang terbit Objek Sengketa, terletak di Jalan Botolempangan, Kelurahan Sawerigading (dahulu Kelurahan Mangkura), Kecamatan Ujung Pandang, Kotamadya Ujung Pandang (Sekarang Kota Makassar), Propinsi Sulawesi Selatan, telah beberapa kali berperkara di peradilan umum hingga telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
  3. Bahwa pada tanggal 8 Juli 1997 telah diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sulawesi Selatan, berupa Surat Keputusan Nomor: 520.1/961/453/53-01/97 tentang Pemberian Hak Milik atas nama Dokter Hasan Anoez dan kemudian diterbitkan pula Sertipikat Hak Milik No.2/Mangkura tanggal 23 Juli 1997, luas 860 m2 atas nama Dokter Hasan Anoez;
  4. Bahwa Akta Jual Beli Nomor: 04/2013 tanggal 18 Januari 2013 yang dibuat di hadapan Notaris Mardiana Kadir, SH menunjukkan bahwa telah terjadi jual beli antara antara Dokter Hasan Anoez selaku pihak penjual dan Ny. Margaretha Tjandra selaku pembeli.
  5. Bahwa tanggal 9 Maret 2015 oleh kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sulawesi Selatan atas nama Menteri Agraria Tata Ruang BPN Republik Indonesia, menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 03/Bpt/BPN-73/2015 Tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sulawesi Selatan Nomor: 520.1/961/453/53-01/97, tanggal 8-7-1997 tentang Pemberian Hak Milik atas nama Dokter Hasan Anoez dan Sertipikat Hak Milik No.2/Sawerigading (dulu Mangkura), tanggal 23 Juli 1997, luas 860 m2, dengan alasan Cacat Hukum Administrasi.
  6. Bahwa pada tanggal 23 Maret 2015 telah diterbitkan surat dari Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar Nomor: 646/300. 7-73.71/III/2015 perihal : permintaan menyerahkan sertipikat kepada Penggugat (Ny. Margaretha Tjandra) yang diterbitkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar.

Beberapa Pertimbangan Hakim:

  1. Menimbang bahwa penerbitan Surat Keputusan Objek Sengketa ke 2 yaitu berupa permintaan untuk menyerahkan Sertipikat Hak Milik No.2/Sawerigading merupakan tindak lanjut pelaksanaan dari Objek Sengketa ke 1 yaitu Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sulawesi Selatan Nomor : 03/Pbt/BPN-73/2015, tanggal 9 Maret 2015 Tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sulawesi Selatan Nomor: 520.1/961/453/ 53-01/97, tanggal 8-7-1997 tentang Pemberian Hak Milik atas nama Dokter Hasan Anoez dan Sertipikat Hak Milik No.2/Sawerigading, yang didasarkan pada ketentuan Pasal 73, 74, dan 75 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor : 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan;
  2. Menimbang bahwa setelah Majelis Hakim membaca dan mencermati ketentuan dalam Perkaban Nomor 3 tahun 2011 serta Peraturan Perundang-undangan lainnya yang terkait, Tergugat selaku Kepala Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar diberikan wewenang untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara obyek sengketa in casu Surat Nomor: 646/300.7-73.71/III/2015 tanggal 23 Maret 2015, hal : Permintaan menyerahkan Sertipikat yang ditujukan kepada Ny. Margaretha Tjandra di dalam lingkup wilayah wewenangnya, namun dalam ketentuan tersebut tidak diatur mengenai bagaimana tata cara atau prosedur formal yang harus ditempuh dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa.
  3. Bahwa tidak diaturnya tata cara atau prosedur formal yang harus ditempuh dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara terhadap objek sengketa tersebut, maka termasuk dalam pengertian keputusan yang bersifat bebas (vrije beschikking). Namun hal tersebut tidak boleh diartikan bahwa penggunaan wewenang demikian dapat dilakukan dengan bebas tanpa berlakunya suatu norma hukum, bagaimanapun bebasnya sifat wewenang pemerintahan disitu harus memberlakukan atau memperhatikan norma-norma hukum yang tidak tertulis yang disebut “Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik”;
  4. Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, khusus dari aspek prosedur dan/atau substansi, sepanjang berkaitan dengan tata cara penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara obyek sengketa yang tidak diatur secara tegas dalam peraturan dasarnya, maka Majelis Hakim akan melakukan pengujian keabsahan (rechhtmatigheids toetsing) dengan berpedoman (mendasarkan) pada Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tetang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan;
  5. Menimbang, bahwa dalam Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, asas kecermatan dan asas kepastian hukum, asas kemanfaatan dipandang sebagai asas yang lebih formal, sebab kedua asas itu tidak segera mengatakan sesuatu tentang isi dari keputusan yang diambil, tetapi lebih tentang persiapan. Asas kecermatan, dalam arti suatu keputusan harus dipersiapkan dan diambil dengan cermat, meneliti semua fakta yang relevan dan memasukkan pula semua kepentingan yang relevan kedalam pertimbangannya, dalam rangka ini asas kecermatan dapat mensyaratkan bahwa yang berkepentingan didengar, sebelum mereka dihadapkan pada suatu keputusan yang merugikan (Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1994, hlm. 274-277);
  6. Menimbang, bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam penyelenggaraaan negara dan asas kemanfaatan serta asas kecermatan, yakni suatu keputusan harus dipersiapkan dan diambil dengan cermat, meneliti semua fakta yang relevan dan memasukan pula semua kepentingan yang relevan ke dalam pertimbangannya, sepatutnya Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar tidak menerbitkan Objek Sengketa ke 2 yang merupakan tindak lanjut pelaksanaan dari Objek Sengketa ke 1, yaitu Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sulawesi Selatan Nomor : 03/Pbt/BPN-73/2015, terlebih saat ini terhadap Objek Sengketa ke 1 tersebut sementara diajukan pengujian keabsahannya, terlepas dari pengadilan mana yang berwenang mengadilinya, sehingga untuk menghindari adanya kerugian yang berpotensi merugikan kepentingan Penggugat (Nyonya Margaretha Tjandra) dikemudian hari bahwa, Tergugat II yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar selaku Pejabat Tata Usaha Negara semestinya berlaku cermat, teliti serta hati-hati sebelum menerbitkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi Obyek Sengketa ke 2 dalam perkara ini, karena Tergugat menerbitkan Surat yang memerintahkan Penggugat untuk mengembalikan Sertipikat hak milik yang masih diuji di peradilan, sepatutnya Tergugat harus dapat mempertimbangkan adanya kerugian yang fatal dikemudian hari bagi pihak penggugat yang bersengketa, apabila diterbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa ke 2 tersebut sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan pada bagian mengenai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) terkhusus mengenai asas kecermatan, asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan;
  7. Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan tersebut di atas majelis hakim berkesimpulan bahwa Surat Keputusan Surat Nomor: 646/300.7-73.71/III/2015 tanggal 23 Maret 2015, hal : Permintaan menyerahkan Sertipikat yang ditujukan kepada Ny. Margaretha Tjandra dari aspek substansinya bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) yakni asas kepastian hukum, asas kecermatan dan asas kemanfaatan sebagaimana dimaksud Ketentan Pasal 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan;
  8. Menimbang, bahwa oleh karena Surat Keputusan Objek Sengketa ke 2, Surat Keputusan Nomor: 646/300.7-73.71/III/2015 tanggal 23 Maret 2015, hal : Permintaan menyerahkan Sertipikat yang ditujukan kepada Ny.Margaretha Tjandra, cacat dari aspek substansinya maka surat keputusan tersebut haruslah dinyatakan batal dan berdasarkan ketentuan pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dimana akibat hukum keputusan yang dinyatakan batal adalah tidak mengikat sejak saat keputusan itu dibatalkan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.

Amar Putusan:

  1. Mengabulkan gugatan Nyonya Margaretha Tjandra dan Dr. Hasan Anoez sebagian;
  2. Menyatakan batal Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Makassar yaitu Surat Keputusan Nomor: 646/300.7-73.71/III/2015 tanggal 23 Maret 2015, hal : Permintaan menyerahkan Sertipikat yang ditujukan kepada Ny. Margaretha Tjandra;
  3. Memerintahkan Kantor Pertanahan Kota Makassar untuk mencabut Surat Keputusan Tata Usaha Negara berupa Surat Keputusan Nomor: 646/300.7-73.71/III/2015 tanggal 23 Maret 2015, hal : Permintaan menyerahkan Sertipikat yang ditujukan kepada Ny. Margaretha Tjandra;
  4. Menolak Gugatan Nyonya Margaretha Tjandra dan Dr. Hasan Anoez selebihnya;
  5. Menyatakan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan untuk terhadap Obyek Sengketa 1;
  6. Menghukum Tergugat II untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 422.000.

G. Putusan Mahkamah Agung Tingkat Kasasi Nomor 421 K/TUN/2016 Tanggal 1 Desember 2016

Amar Putusan:

  1. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar Nomor 14/B/2016/PT.TUN.MKS, tanggal 25 April 2016 yang membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Nomor 43/G/2015/PTUN.Mks, tanggal 16 November 2015
  2. Menyatakan batal Surat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berupa objek sengketa 1 dan objek sengketa 2.
  3. Mewajibkan Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi Sulawesi Selatan dan Kantor Pertanahan Kota Makassar mencabut Surat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menjadi objek sengketa berupa objek sengketa 1 dan objek sengketa 2.

Pertimbangan Hakim:

  1. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar sudah benar dan cermat memberikan pertimbangan bahwa objek sengketa ke-2 menjadi kewenangan Kantor Pertanahan Kota Makassar;
  2. Majelis Hakim Kasasi memperbaiki pertimbangan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut. In casu Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar berwenang memeriksa dan mengadili Sengketa Tata Usaha Negara baik objek sengketa ke-1 maupun objek sengketa ke-2;
  3. Nyonya Margaretha Tjandra dan Dr. Hasan Anoez mendapatkan hak atas tanah dan Sertifikat Hak Milik yang dicabut oleh Keputusan Tata Usaha Negara (objek sengketa), adalah melalui cara-cara yang sah berdasarkan hukum, yaitu melalui proses perkara perdata dan Perkara Tata Usaha Negara yang sangat panjang, sebagai berikut:
    • Nomor 46/G.TUN/1995/PTUN.Uj.Pdg. o. Nomor 164 K/TUN/2012 j.o. Nomor 155 PK/TUN/2013;
    • Nomor 08/G/TUN/1998/PTUN.Uj.Pdg. o. Nomor 42/BDG.TUN/1998/PT.TUN.Uj.Pdg.  j.o. Nomor 112 K/TUN/1999 j.o. Nomor 38 PK/TUN/2002;
    • Nomor 31/PDT.G/1996/PN.Uj.Pdg. Juncto Nomor 157/PDT/1997/PT.Uj.Pdg. JunctoNomor 686 K/Pdt/1998 Juncto Nomor 87 PK/PDT/2012;
    • Nomor 09/G/TUN/2011/PTUN.Mks. Juncto Nomor 103/B.TUN/ 2011/PT.TUN.Mks.
    • Kemudian dilanjutkan dengan peralihan hak di hadapan PPAT Mardiana Kadir, S.H. dengan Akta Jual Beli Nomor 04/2013, tanggal 18 Januari 2013.
  1. Bahwa dari segi hukum Nyonya Margaretha Tjandra dan Dr. Hasan Anoez mendapatkan Keputusan Tata Usaha Negara yang dibatalkan tersebut adalah dengan cara yang sah dan itikad baik, oleh sebab itu harus mendapat perlindungan hukum.
  2. Bahwa kalaupun benar terjadi kesalahan dalam penerbitan Surat Keputusan yang dibatalkan oleh Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi Sulawesi Selatan dan Kantor Pertanahan Kota Makassar tersebut, sesungguhnya adalah atas kesalahan Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi Sulawesi Selatan dan Kantor Pertanahan Kota Makassar itu sendiri, sehingga jika akan dilakukan perbaikan-perbaikan tidak boleh membebani/merugikan kepentingan Nyonya Margaretha Tjandra dan Dr. Hasan Anoez.

KESIMPULAN:

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1/Yur/TUN/2018, terdapat kaidah hukum bahwa Perbaikan terhadap keputusan tata usaha negara yang keliru oleh pejabat tata usaha negara, sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh pejabat tersebut, tidak boleh merugikan kepentingan pihak lain yang memperoleh keputusan dengan cara yang sah dan itikad baik.

Silakan tonton disini ya teman-teman

Sumber:

Direktori Putusan (mahkamahagung.go.id)

Yurisprudensi :  SERTIPIKAT GANDA YANG SAMA-SAMA OTENTIK

Yurisprudensi : SERTIPIKAT GANDA YANG SAMA-SAMA OTENTIK

Hai teman-teman, tulisan ini membahas tentang sikap Mahkamah Agung terhadap sertipikat ganda atas bidang tanah yang sama, yang mana sama-sama otentik. Sebelumnya kita samakan persepsi dulu apakah akan menggunakan istilah sertifikat atau sertipikat, untuk meminimalisir perdebatan dan ketidakjelasan.

Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa:

Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”

Namun, apabila dilihat dari sambul depan surat tanda bukti hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, berjudul “Sertipikat”.

Oleh karena itu mari kita sepakati bahwa kedua istilah tersebut, baik sertifikat maupun sertipikat akan digunakan dalam tulisan ini.

PERMASALAHAN:

Apabila terjadi sengketa atas tanah karena adanya sertipikat yang lebih dari satu atas tanah yang sama, sertipikat mana yang akan diakui legalitasnya?

SUMBER PUTUSAN:

976 K/Pdt/2015 tanggal 27 November 2015

PARA PIHAK

Pemohon Kasasi:

  • Liem Teddy

Termohon Kasasi:

  • Departemen Pertahanan Dan Keamanan/Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Cq. Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Darat Komando Daerah Militer lll/Siliwangl

Turut Termohon Kasasi:

  • Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Kantor Pertanahan Kota Bandung
  • PT. Propelat
  • Pemerintah Republik Indonesia Cq Menteri Keuangan Republik Indonesia

OBJEK SENGKETA

Sebidang tanah dan bangunan yang terletak di Jl. Cicendo Nomor 16 (dahulu Nomor 20) Kelurahan Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung

PUTUSAN PENGADILAN

Pengadilan Negeri Bandung telah memberikan Putusan Nomor 336/Pdt.G/2013/PN.Bdg. tanggal 19 Mei 2014 yang amarnya sebagai berikut:

  1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
  2. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (Onrecht Matigedaad);
  3. Menyatakan sah dan mengikat Akta Jual Beli Nomor 158/2006 tertanggal 05 Oktober 2006 yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Tien Norman Lubis, S.H., PPAT Kota Bandung jo Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 46/Kelurahan Babakan Ciamis, gambar situasi tanggal 11-02-1993 Nomor 835/1993 luas 484 m² tertulis atas nama Liem Teddy (ic. Penggugat);
  4. Menyatakan Penggugat pemilik yang sah atas sebidang tanah dan bangunan yang terletak di Jl. Cicendo Nomor 16 (dahulu Nomor 20), Kota Bandung berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 46/Kelurahan Babakan Ciamis, gambar situasi tanggal 11-02-1993 Nomor 835/1993 luas 484 m² tertulis atas nama Liem Teddy (in casu Penggugat);
  5. Menghukum Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II untuk tunduk dan taat pada putusan ini.
  6. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya

Putusan Pengadilan dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat II putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dengan Putusan Nomor 399/PDT/2014/PT.BDG tanggal 11 November 2014 yang amarnya sebagai berikut:

  • Menerima permohonan banding dari Pembanding/Penggugat dalam Rekonvensi semula Tergugat I tersebut;
  • Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 336/Pdt.G/2013/PN.Bdg tanggal 19 Mei 2014 yang dimohonkan banding tersebut;

Mengadili sendiri dalam pokok perkara:

  1. Mengabulkan gugatan Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat I dalam Konvensi untuk sebagian
  2. Menyatakan Akta Jual Beli Nomor 54 tanggal 12 Mei 1959 adalah sah menurut hukum
  3. Menyatakan sah menurut hukum Sertifikat Hak Pakai Nomor 18 tanggal 11 November 1998, Surat Ukur Nomor 13/Babakan Ciamis/1998 tanggal 29 Agustus 1998, seluas 464 m² atas nama Departemen Pertahanan dan Keamanan/Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat/Komando Daerah Militer III/Siliwangi
  4. Menyatakan objek sengketa di Jalan Cicendo Nomor 18 A sekarang Nomor 20 Bandung Sertifikat Hak Pakai Nomor 18 tanggal 11 November 1998, Surat Ukur Nomor 13/Babakan Ciamis/1998 tanggal 29 Agustus 1998, seluas 464 m2 adalah milik dan aset Departemen Pertahanan dan Keamanan/Angkatan Bersenjata Republik/Tentara Nasional Indonesia- Angkatan Darat/Komando Daerah Militer III/Siliwangi;
  5. Menghukum Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi untuk mengosongkan dan menyerahkan objek sengketa kepada Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat I dalam Konvensi atas tanah dan bangunan objek sengketa tersebut
  6. Menyatakan Akta Jual Beli Nomor 158/2006 tanggal 5 Oktober 2006 dan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 46/Kelurahan Babakan Ciamis , Gambar Situasi tanggal 11 Februari 1993 Nomor 835/1993, luas 484 m2 tertulis atas nama Liem Teddy (ic. Penggugat) tidak mempunyai kekuatan hukum;
  7. Menyatakan Tergugat II, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II, tunduk dan patuh dengan putusan ini
  8. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selebihnya;

Mahkamah Agung pada tingkat kasasi memutuskan bahwa putusan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Tinggi Bandung yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Bandung ternyata Judex Facti tersebut salah menerapkan hukum.

PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG

  1. Bahwa dalam menilai keabsahan salah satu dari 2 (dua) bukti hak yang bersifat outentik maka berlaku kaedah bahwa sertifikat hak yang terbit lebih awal adalah yang sah dan berkekuatan hukum;
  2. Bahwa sesuai fakta persidangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 1458 yang kemudian diperpanjang dengan Sertifikat HGB Nomor 46 atas nama Turut Tergugat I (PT. Propelat) adalah bukti hak yang terbit lebih awal yaitu tanggal 11 Februari 1993 daripada Sertifikat Hak Pakai Nomor 18 yang terbit tanggal 11 November 1998
  3. Bahwa Sertifikat HGB Nomor 46 telah dijual oleh Turut Tergugat I kepada Penggugat/ Pemohon Kasasi di depan PPAT sehingga telah benar Penggugat/Pemohon Kasasi adalah pemilik sah objek sengketa
  4. Bahwa berdasarkan pertimbangan atas fakta tersebut maka putusan Judex Facti/Pengadilan Negeri Bandung telah tepat dan benar

BEBERAPA PUTUSAN YANG MENGIKUTI

  • 290 K/Pdt/2016 dan 143 PK/Pdt/2016

Pada perkara No. 290 K/Pdt/2016 (Lisnawati vs Ivo La Bara, dkk.) tanggal 17 Mei2016, dan putusan No. 143 PK/Pdt/2016 (Nyonya Rochadini, dkk. Vs Pintardjo Soeltan Sepoetro dan Nyonya JandaMumah haimawati) tanggal 19 Mei 2016, dalam putusannya tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa:

“Bahwa jika timbul sertifikat hak ganda maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat hak yang terbit lebih dahulu”

  • 170 K/Pdt/2017, 734 PK/Pdt/2017 dan 1318 K/Pdt/2017

Pada tahun 2017, Mahkamah Agung tetap konsisten dengan pendapat tersebut di atas. Hal ini terlihat dalam putusan MA No. 170 K/Pdt/2017(Hamzah vs Harjanto Jasin, dkk.) tanggal 10 April 2017, Putusan No. 734PK/Pdt/2017 (Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Kodam III/Siliwangi TNI Angkatan Darat) tanggal 19 Desember 2017, dan Putusan No. 1318 K/Pdt/2017 (Drs. Anak Agung Ngurah Jaya vs Anak Agung Putri dan A.A. Ngurah Made Narottama) tanggal 26 September 2017.

Pertimbangan hukum pada putusan No. 734PK/Pdt/2017 menyatakan:

  • Bahwa jika ditemukan adanya 2 akta otentik maka berlaku kaidah sertifikat yang terbit lebih dahulu adalah sah dan berkekuatan hukum

Selain itu gugatan atas adanya sertifikat ganda tersebut juga harus menjadikan Kantor Pertanahan setempat sebagai pihak tergugat atau turut tergugat. Tidak ditariknya pihak Kantor Pertanahan sebagai pihak mengakibatkan gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena apabila gugatan dikabulkan dapat berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan. Hal ini ditegaskan dalam putusan MA No. 3029 K/Pdt/2016 tanggal 26 Januari 2017 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sekayu No. 14/Pdt.G/2015/PN.Sky tanggal 29 Desember 2015.

KESIMPULAN:

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 5/Yur/Pdt/2018, terdapat kaidah hukum bahwa  Jika terdapat sertipikat ganda atas tanah yang sama, dimana keduanya sama-sama otentik maka bukti hak yang paling kuat adalah sertipikat hak yang terbit lebih dahulu. Mahkamah Agung telah secara konsisten menerapkan sikap hukum tersebut di seluruh putusan dengan permasalahan hukum serupa sejak tahun 2015.

Sumber:

Direktori Putusan (mahkamahagung.go.id)

 

TATA CARA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PART IV)

TATA CARA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PART IV)

Hai sahabat PytaGoals, akhirnya sudah sampai di Part IV. Selamat ya kamu hebat sudah bertahan membaca sampai tahap ini ! Semoga bermanfaat ya, dan tetap semangat !

DASAR HUKUM

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah

PENGERTIAN

Pembinaan adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan oleh Menteri terhadap PPAT secara efektif dan efisien untuk mencapai kualitas PPAT yang lebih baik.

Pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para PPAT dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat IPPAT adalah organisasi profesi jabatan PPAT yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT adalah majelis yang diberi kewenangan oleh Menteri untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Pusat yang selanjutnya disingkat MPPP adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kementerian.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Wilayah yang selanjutnya disingkat MPPW adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kantor Wilayah BPN.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Daerah yang selanjutnya disingkat MPPD adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kantor Pertanahan.

BANTUAN HUKUM TERHADAP PPAT

Kementerian, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dan/atau IPPAT dapat memberikan bantuan hukum terhadap PPAT yang dipanggil sebagai saksi maupun tersangka oleh penyidik.

PPAT yang yang dipanggil sebagai saksi maupun tersangka oleh penyidik dapat mengajukan permohonan bantuan hukum.

Bantuan hokum tersebut dapat berupa saran, masukan/pendampingan dalam penyidikan dan/atau keterangan ahli di pengadilan.

Kementerian, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dan/atau IPPAT dapat membentuk tim gabungan guna memberikan bantuan hukum kepada PPAT yang anggotanya berasal dari unsur Kementerian, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dan/atau IPPAT.

Dalam hal penyidik akan memeriksa PPAT atas dugaan tindak pidana dapat berkoordinasi dengan Kementerian, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dan/atau IPPAT.

TATA CARA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PART III)

TATA CARA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PART III)

Hai sahabat PytaGoals, ayo dong semangat. Sudah sampai di Part III nih, kamu hebat ! Lanjutkan juga membaca Part IV ya. Semangat !

DASAR HUKUM

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah

PENGERTIAN

Pembinaan adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan oleh Menteri terhadap PPAT secara efektif dan efisien untuk mencapai kualitas PPAT yang lebih baik.

Pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para PPAT dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat IPPAT adalah organisasi profesi jabatan PPAT yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT adalah majelis yang diberi kewenangan oleh Menteri untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Pusat yang selanjutnya disingkat MPPP adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kementerian.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Wilayah yang selanjutnya disingkat MPPW adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kantor Wilayah BPN.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Daerah yang selanjutnya disingkat MPPD adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kantor Pertanahan.

TATA KERJA PEMERIKSAAN DUGAAN PELANGGARAN PPAT

PEMERIKSAAN OLEH MPPD

Pemeriksaan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT dilaksanakan mulai dari tingkat MPPD.

Apabila dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT secara jelas telah terbukti dan nyata, Kepala Kantor Pertanahan dapat langsung memberikan sanksi berupa surat teguran tertulis kepada PPAT tanpa melalui pemeriksaan oleh MPPD.

MPPD menindaklanjuti temuan Kantor Wilayah BPN atau Kantor Pertanahan terhadap pelanggaran pelaksanaan jabatan PPAT dan/atau pengaduan dengan membentuk dan menugaskan Tim Pemeriksa MPPD untuk melakukan pemeriksaan. Penugasan tersebut dibuat dalam bentuk Surat Tugas.

Ketua, wakil ketua dan anggota MPPD dapat menjadi tim pemeriksa dengan syarat tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga atau orang lain yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.

Tim Pemeriksa MPPD melaksanakan pemeriksaan dengan melakukan pemanggilan terhadap PPAT terlapor untuk diminta keterangan.

PEMANGGILAN

Pemanggilan terhadap PPAT terlapor dilakukan melalui surat yang ditandatangani oleh ketua MPPD. Pemanggilan terhadap PPAT terlapor dilakukan melalui surat yang ditandatangani oleh ketua MPPD.

Pemanggilan terhadap PPAT terlapor dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali.

Terlapor wajib hadir sendiri memenuhi panggilan dan tidak boleh didampingi penasihat hukum.

Pemanggilan pertama dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sebelum pemeriksaan. Apabila pemanggilan pertama kali sampai dengan hari ke 7 (tujuh) hari kalender terlapor tidak datang sejak tanggal pemanggilan, maka dilakukan panggilan kedua. Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender setelah panggilan kedua terlapor tidak datang, dilakukan pemanggilan ketiga. Apabila 7 (tujuh) hari kalender setelah panggilan ketiga terlapor tidak datang, proses pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadiran terlapor.

PEMBERIAN KETERANGAN 

Keterangan dari terlapor dituangkan dalam Berita Acara Pemberian Keterangan yang ditandatangani oleh pemeriksa dan terlapor. Apabila terlapor tidak mau menandatangani Berita Acara Pemberian Keterangan, pemeriksaan tetap dapat dilanjutkan.

PENGAMBILAN KEPUTUSAN 

Penentuan pengambilan keputusan dilaksanakan dengan rapat pembahasan yang diselenggarakan di Kantor Pertanahan. Hasil pelaksanaan rapat pembahasan dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pengambilan Keputusan.

HASIL PEMERIKSAAN

Hasil pemeriksaan MPPD di atas, dibuat dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

Laporan Hasil Pemeriksaan memuat alasan dan pertimbangan yang dijadikan dasar untuk memberikan rekomendasi dalam pemberian putusan dan jenis sanksi terhadap PPAT terlapor. Rekomendasi tersebut berupa:

  1. Pemberian sanksi teguran tertulis
    Disini Kepala Kantor Pertanahan menindaklanjuti dengan menerbitkan surat teguran tertulis kepada PPAT. Surat teguran tertulis ini memuat jenis pelanggaran dan tindak lanjut yang harus dipenuhi oleh PPAT. Surat teguran tertulis berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) bulan. Apabila PPAT tidak mematuhi dan/atau tidak menindaklanjuti teguran tertulis kesatu sampai dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender, dapat langsung diberikan teguran tertulis kedua. Sanksi berupa teguran tertulis diberikan paling banyak 2 (dua) kali. Apabila hal PPAT telah mendapatkan teguran sebanyak 2 (dua) kali dan PPAT tetap melakukan pelanggaran, Kepala Kantor Pertanahan melaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN untuk diberikan sanksi berupa pemberhentian sementara.PPAT yang dikenai sanksi berupa teguran tertulis oleh Kepala Kantor Pertanahan dapat mengajukan keberatan. Apabila pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT secara jelas telah terbukti dan nyata, PPAT tidak dapat mengajukan keberatan. Permohonan keberatan diajukan secara tertulis kepada Kepada Kantor Wilayah BPN dalam tenggang waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender sejak surat teguran diterima.
  1. Pemberian sanksi pemberhentian berupa pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat
    Disini Kepala Kantor Pertanahan menyampaikan usulan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN selaku ketua MPPW.
  2. Tidak terjadi indikasi pelanggaran
    Apabila rekomendasi berupa tidak adanya indikasi pelanggaran maka Kepala Kantor Pertanahan memberitahukan kepada PPAT yang bersangkutan dengan ditembuskan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN.

 

PEMERIKSAAN OLEH MPPW

Ketua MPPW menindaklanjuti usulan Kepala Kantor Pertanahan atau keberatan PPAT terlapor dengan membentuk dan menugaskan Tim Pemeriksa MPPW untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengkajian atas usulan atau keberatan. Penugasan dibuat dalam bentuk Surat Tugas.

Ketua, wakil ketua dan anggota MPPW dapat menjadi tim pemeriksa dengan syarat tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga atau orang lain yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.

Tim Pemeriksa MPPW melaksanakan pemeriksaan dan/atau pengkajian dengan melakukan pemanggilan terhadap PPAT terlapor untuk diminta keterangan.

Ketentuan pemanggilan terlapor, pengambilan keterangan, dan pengambilan keputusan oleh Tim Pemeriksa MPPW mutatis mutandis dengan ketentuan pemanggilan terlapor, pengambilan keterangan, dan pengambilan keputusan oleh Tim Pemeriksa MPPD. Artinya berlaku sama ketentuan pelaksanaannya dengan yang telah diuraikan dalam poin sebelumnya, yaitu PEMERIKSAAN OLEH MPPD. Begitu juga dengan ketentuan Laporan Hasil Pemeriksaan dan/atau Pengkajian oleh Tim Pemeriksa MPPW.

Laporan Hasil pemeriksaan dan/atau pengkajian dibuat dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan dan/atau Pengkajian, dan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN. Rekomendasi tersebut berupa:

  1. Pemberian sanksi pemberhentian sementara
    Disini Kepala Kantor Wilayah BPN menindaklanjuti dengan menerbitkan Surat Keputusan Pemberhentian Sementara.
  2. Menyetujui atau menolak keberatan terlapor
    Apabila hasil pemeriksaan berupa persetujuan atas keberatan oleh PPAT terlapor, Kepala Kantor Wilayah BPN menerbitkan surat keputusan untuk membatalkan surat teguran yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Kepala Kantor Wilayah BPN menerbitkan surat keputusan tersebut paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak diterimanya rekomendasi dari tim pemeriksa MPPW. Apabila hasil pemeriksaan berupa menolak keberatan oleh PPAT terlapor maka Kepala Kantor Wilayah BPN memberitahukan kepada PPAT yang bersangkutan dengan ditembuskan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
  3. Rekomendasi pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat
    Apabila hasil pemeriksaan berupa rekomendasi pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat maka Kepala Kantor Wilayah BPN menyampaikan usulan kepada Direktur Jenderal selaku ketua MPPP.

Jangka waktu berlakunya pengenaan sanksi harus dinyatakan secara tegas dinyatakan dalam Surat Keputusan Pemberhentian Sementara. Setelah berakhirnya jangka waktu pemberhentian sementara, yang bersangkutan wajib melapor kepada Kepala Kantor Pertanahan sebelum menjalankan jabatannya.

Sanksi berupa pemberhentian sementara diberikan paling banyak 2 (dua) kali. Apabila PPAT telah mendapatkan sanksi berupa pemberhentian sementara sebanyak 2 (dua) kali dan PPAT tetap melakukan pelanggaran, Kepala Kantor Wilayah BPN melaporkan kepada Menteri untuk diberikan sanksi berupa pemberhentian dengan hormat atau dengan tidak hormat.

PPAT yang dikenai sanksi pemberhentian sementara oleh Kepala Kantor Wilayah BPN dapat mengajukan keberatan. Permohonan keberatan diajukan secara tertulis kepada Menteri dalam tenggang waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender sejak keputusan diterima.

 

PEMERIKSAAN OLEH MPPP

Ketua MPPP menindaklanjuti usulan Kepala Kantor Wilayah BPN dan permohonan keberatan PPAT terlapor dengan membentuk dan menugaskan Tim Pemeriksa MPPP untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengkajian atas usulan atau keberatan. Penugasan dibuat dalam bentuk Surat Tugas.

Ketua, wakil ketua dan anggota MPPP dapat menjadi tim pemeriksa dengan syarat tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga atau orang lain yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.

Tim Pemeriksa MPPP melaksanakan pemeriksaan dan/atau pengkajian dengan melakukan pemanggilan terhadap PPAT terlapor untuk diminta keterangan.

Ketentuan pemanggilan terlapor, pengambilan keterangan, dan pengambilan keputusan oleh Tim Pemeriksa MPPP mutatis mutandis dengan ketentuan pemanggilan terlapor, pengambilan keterangan, dan pengambilan keputusan oleh Tim Pemeriksa MPPD. Artinya berlaku sama ketentuan pelaksanaannya dengan yang telah diuraikan dalam poin sebelumnya, yaitu PEMERIKSAAN OLEH MPPD. Begitu juga dengan ketentuan Laporan Hasil Pemeriksaan dan/atau Pengkajian oleh Tim Pemeriksa MPPP.

Rekomendasi hasil pemeriksaan berupa:

  1. pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat
    Apabila hasil pemeriksaan berupa pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat, Menteri menindaklanjuti dengan menetapkan Surat Keputusan Pemberhentian Dengan Hormat atau Surat Keputusan Pemberhentian Dengan Tidak Hormat.
  2. menyetujui atau menolak keberatan terlapor
    Apabila hasil pemeriksaan berupa persetujuan atas keberatan oleh PPAT terlapor, Menteri menerbitkan surat keputusan untuk membatalkan keputusan pemberhentian sementara yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN. Apabila hasil pemeriksaan berupa menolak keberatan oleh PPAT terlapor, Menteri memberitahukan kepada PPAT yang bersangkutan dengan ditembuskan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan.

Keputusan yang telah ditetapkan oleh Menteri kepada PPAT terlapor bersifat final.

 

PENYAMPAIAN HASIL PEMERIKSAAN

Setiap hasil dari pemeriksaan oleh MPPD, MPPW atau MPPP berupa rekomendasi, salinan berita acara/surat/ keputusan pemberian sanksi disampaikan secara resmi melalui surat kepada PPAT yang melakukan pelanggaran dan ditembuskan kepada IPPAT atau kepada pelapor jika diperlukan.

Bukti penyampaian surat pemberitahuan dapat berupa cap pos atau cara lain yang sah.

 

PENGENAAN STATUS QUO

PPAT yang diduga melakukan pelanggaran dan sedang dalam usulan pemberian sanksi berupa pemberhentian, tidak boleh menjalankan jabatan PPAT (status quo). Keadaan status quo berlaku sampai dengan ditetapkannya sanksi yang ditetapkan oleh Kementerian.

TATA CARA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PART II)

TATA CARA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PART II)

Hai sahabat PytaGoals, masih semangat kan bacanya. Sudah sampai di Part II nih, selamat ya kamu hebat ! Lanjutkan juga membaca Part III dan Part IV ya. Semangat !

DASAR HUKUM

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah

PENGERTIAN

Pembinaan adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan oleh Menteri terhadap PPAT secara efektif dan efisien untuk mencapai kualitas PPAT yang lebih baik.

Pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para PPAT dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat IPPAT adalah organisasi profesi jabatan PPAT yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT adalah majelis yang diberi kewenangan oleh Menteri untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Pusat yang selanjutnya disingkat MPPP adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kementerian.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Wilayah yang selanjutnya disingkat MPPW adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kantor Wilayah BPN.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Daerah yang selanjutnya disingkat MPPD adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kantor Pertanahan.

PEMBENTUKAN MAJELIS PEMBINA DAN PENGAWAS PPAT

Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT, Menteri ATR/BPN dapat membentuk Majelis Pembina dan Pengawas PPAT, yang bertugas untuk membantu Menteri dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan PPAT.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT terdiri atas:

  1. MPPP;
  2. MPPW; dan
  3. MPPD.

KEANGGOTAAN

Keanggotaan Majelis Pembina dan Pengawas PPAT terdiri atas unsur:

  1. Kementerian; dan
  2. IPPAT.

Dalam melaksanakan tugasnya, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dibantu oleh sekretaris. Sekretaris bukan merupakan anggota majelis dan bertugas menangani bidang administrasi. Sekretaris dapat dibantu paling sedikit 2 (dua) orang yang berbentuk Sekretariat.

SUSUNAN KEANGGOTAAN

Majelis Pembina dan Pengawas Pejabat Pembuat Akta Tanah Pusat

MPPP dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di Kementerian.

Susunan keanggotaan MPPP, terdiri atas:

  1. 1 (satu) orang ketua, dari unsur Kementerian yang dijabat oleh Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk;
  2. 1 (satu) orang wakil ketua, yang dijabat oleh unsur IPPAT; dan
  3. 9 (sembilan) orang anggota, dengan komposisi 5 (lima) orang dari unsur Kementerian dan 4 (empat) orang dari unsur IPPAT.

Majelis Pembina dan Pengawas Pejabat Pembuat Akta Tanah Wilayah

MPPW dibentuk dan ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri dan berkedudukan di Kantor Wilayah BPN.

Susunan keanggotaan MPPW, terdiri atas:

  1. 1 (satu) orang ketua, dari unsur Kementerian yang dijabat oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau pejabat yang ditunjuk;
  2. 1 (satu) orang wakil ketua, yang dijabat oleh unsur IPPAT; dan
  3. 7 (tujuh) orang anggota, dengan komposisi 4 (empat) orang dari unsur Kementerian dan 3 (tiga) orang dari unsur IPPAT.

Majelis Pembina dan Pengawas Pejabat Pembuat Akta Tanah Daerah

MPPD dibentuk dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atas nama Menteri dan berkedudukan di Kantor Pertanahan.

Susunan keanggotaan MPPD, terdiri atas:

  1. 1 (satu) orang ketua, dari unsur Kementerian yang dijabat oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk;
  2. 1 (satu) orang wakil ketua, yang dijabat oleh unsur IPPAT; dan
  3. 5 (lima) orang anggota, dengan komposisi 3 (tiga) orang dari unsur Kementerian dan 2 (dua) orang dari unsur IPPAT

MPPD hanya dapat dibentuk di daerah yang jumlah PPATnya paling sedikit 10 (sepuluh) orang PPAT.

Dalam hal di Kantor Pertanahan tidak dibentuk MPPD karena tidak memenuhi ketentuan jumlah di atas, maka untuk melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan:

  1. dibantu oleh MPPW; atau
  2. dibentuk tim gabungan MPPD dari daerah lain.

Dalam hal di daerah kabupaten/kota terdapat jumlah PPAT lebih dari 100 (seratus) orang PPAT, Kepala Kantor Wilayah BPN dapat menambah jumlah anggota MPPD sesuai dengan kebutuhan. Penambahan jumlah anggota MPPD tersebut dilakukan dengan ketentuan:

  1. setiap kelipatan 100 (seratus) PPAT dalam daerah kabupaten/kota ditambahkan 2 (dua) anggota MPPD; dan
  2. penambahan jumlah anggota MPPD tidak boleh melebihi jumlah anggota MPPP.

Penambahan jumlah anggota MPPD tersebut dengan perhitungan komposisi paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari Kementerian dan 40% (empat puluh persen) dari IPPAT.

Sekretariat Majelis Pembina dan Pengawas Pejabat Pembuat Akta Tanah

Dalam membantu pelaksanaan jabatan Majelis Pembina dan Pengawas PPAT, dibentuk secretariat. Sekretariat memberikan dukungan administrasi, teknis pemeriksaan, penyusunan program kerja, sumber daya manusia, anggaran, sarana, prasarana, dan laporan kepada Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.

Kedudukan secretariat mempunyai kantor sekretariat sesuai dengan kedudukan Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.

Sekretaris dan anggotanya ditetapkan oleh:

  1. Direktur Jenderal, untuk MPPP;
  2. Kepala Kantor Wilayah BPN, untuk MPPW; dan
  3. Kepala Kantor Pertanahan, untuk MPPD.

Sekretaris dan anggota sekretariat berasal dari unsur Kementerian.

Jumlah Anggota sekretariat ditetapkan oleh :

  1. Direktur Jenderal, untuk MPPP;
  2. Kepala Kantor Wilayah BPN, untuk MPPW; dan
  3. Kepala Kantor Pertanahan untuk MPPD.

PENGANGKATAN MAJELIS PEMBINA DAN PENGAWAS PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

PERSYARATAN

Persyaratan pengangkatan sebagai Majelis Pembina dan Pengawas PPAT, yaitu:

  1. berkewarganegaraan Indonesia;
  2. berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau pejabat di Kementerian yang mempunyai pengalaman di bidang hak tanah dan pendaftaran tanah;
  3. tidak sedang ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman pidana paling sedikit 5 (lima) tahun; dan
  4. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Apabila persyaratan di atas tidak dapat dipenuhi, Menteri, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Kepala Kantor Pertanahan dapat langsung menunjuk pegawai Kementerian sebagai Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.

Persyaratan di atas dibuktikan dengan melampirkan dokumen:

  1. fotokopi kartu tanda penduduk atau tanda bukti diri lain yang sah;
  2. tanda bukti kepegawaian untuk pegawai/pejabat di Kementerian;
  3. kartu tanda anggota IPPAT, bagi unsur IPPAT;
  4. fotokopi ijazah sarjana yang bersangkutan atau Surat Keputusan Pengangkatan sebagai pejabat di Kementerian;
  5. surat pernyataan tidak pernah dihukum.

 PENGUSULAN

Pengusulan anggota MPPP diajukan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal, dengan ketentuan:

  1. anggota dari unsur Kementerian, diajukan oleh Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk; dan
  2. jabatan wakil ketua dan anggota dari unsur IPPAT, diajukan oleh pengurus pusat IPPAT

Usulan tersebut harus disertai dengan pertimbangan persyaratan sebagaimana telah diuraian pada poin A tulisan ini.

Jabatan wakil ketua dan anggota ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan. Apabila Menteri ATR/BPN tidak menyetujui usulan, maka Menteri dapat menunjuk jabatan wakil ketua atau anggota MPPP.

 Pengusulan anggota MPPW diajukan kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Wilayah BPN, dengan ketentuan:

  1. anggota dari unsur Kementerian, diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau pejabat yang ditunjuk; dan
  2. jabatan wakil ketua dan anggota dari unsur IPPAT, diajukan oleh pengurus wilayah IPPAT

Usulan tersebut harus disertai dengan pertimbangan persyaratan sebagaimana telah diuraian pada poin A tulisan ini.

Jabatan wakil ketua dan anggota ditetapkan oleh Direktur Jenderal berdasarkan usulan. Apabila Direktur Jenderal tidak menyetujui usulan, maka Direktur Jenderal dapat menunjuk jabatan wakil ketua atau anggota MPPW.

Pengusulan anggota MPPD diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN melalui Kepala Kantor Pertanahan, dengan ketentuan:

  1. anggota dari unsur Kementerian, diajukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk; dan
  2. jabatan wakil ketua dan anggota dari unsur IPPAT, diajukan oleh pengurus daerah IPPAT.

Usulan tersebut harus disertai dengan pertimbangan persyaratan sebagaimana telah diuraian pada poin A tulisan ini.

Jabatan wakil ketua dan anggota ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN berdasarkan usulan. Apabila Kepala Kantor Wilayah BPN tidak menyetujui usulan, maka Kepala Kantor Wilayah BPN dapat menunjuk jabatan wakil ketua atau anggota MPPD.

MASA JABATAN

Jabatan Ketua Majelis Pembina dan Pengawas PPAT melekat pada jabatan di Kementerian.

Masa jabatan wakil ketua dan anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali dan paling banyak selama 2 (dua) periode.

SUMPAH JABATAN

Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sebelum melaksanakan tugasnya harus mengangkat sumpah di hadapan pejabat yang mengangkatnya atau pejabat yang ditunjuk.

Pengucapan sumpah tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.

Berita Acara Pengangkatan Sumpah tercantum dalam Lampiran III Permen ATR/BPN Nomor 2 Tahun 2018.

PEMBERHENTIAN MAJELIS PEMBINA DAN PENGAWAS PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

Pemberhentian Majelis Pembina dan Pengawas PPAT, meliputi:

  1. pemberhentian dengan hormat;
  2. pemberhentian dengan tidak hormat;
  3. pemberhentian sementara.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:

  1. meninggal dunia;
  2. telah berakhir masa jabatannya;
  3. permintaan sendiri;
  4. pindah wilayah kerja;
  5. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; dan/atau
  6. tidak sehat jasmani dan/atau rohani.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena:

  1. dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  2. melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan;
  3. telah melanggar sumpah jabatan; dan/atau
  4. tidak menghadiri rapat dan/atau sidang Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut atau 6 (enam) kali tidak berturutturut dalam masa 1 (satu) tahun jabatan tanpa alasan yang sah.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT diberhentikan sementara dari jabatannya karena diduga melakukan tindak pidana dan ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa. Pemberhentian sementara dilakukan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Jabatan wakil ketua atau anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berasal dari unsur IPPAT dapat diberhentikan dari Majelis Pembina dan Pengawas PPAT karena diberhentikan dari jabatannya selaku PPAT sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Apabila terjadi kekosongan anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT karena pemberhentian, maka Menteri, Direktur Jenderal atau Kepala Kantor Wilayah BPN sesuai kewenangannya, dapat meminta kepada pejabat yang berwenang mengusulkan atau pengurus IPPAT, untuk mengajukan calon pengganti. Masa jabatan calon pengganti merupakan sisa masa jabatan yang digantikan.

TATA CARA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PART I)

TATA CARA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PART I)

Hai sahabat PytaGoals, yuk kita belajar bareng tentang tata cara pembinaan dan pengawasan PPAT. Kenapa pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT ini penting dan perlu diatur tersediri dalam peraturan perundang-undangan? Ada 4 (empat) judul tulisan yang menguraikan hal ini, jadi baca semuanya ya sahabat, agar bisa tuntas belajarnya. Semangat !!!

DASAR HUKUM

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah

PENGERTIAN

Pembinaan adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan oleh Menteri terhadap PPAT secara efektif dan efisien untuk mencapai kualitas PPAT yang lebih baik.

Pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para PPAT dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat IPPAT adalah organisasi profesi jabatan PPAT yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT adalah majelis yang diberi kewenangan oleh Menteri untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Pusat yang selanjutnya disingkat MPPP adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kementerian.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Wilayah yang selanjutnya disingkat MPPW adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kantor Wilayah BPN.

Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Daerah yang selanjutnya disingkat MPPD adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kantor Pertanahan.

PEMBINAAN PPAT

Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT dilakukan oleh Menteri ATR/BPN.  Pembinaan oleh Menteri dapat berupa:

  1. penentuan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas jabatan PPAT;
  2. pemberian arahan pada semua pihak yang berkepentingan terkait dengan kebijakan di bidang ke-PPAT-an;
  3. menjalankan tindakan yang dianggap perlu untuk memastikan pelayanan PPAT tetap berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan/atau
  4. memastikan PPAT menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan Kode Etik.

Adapun Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT di daerah dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kepala Kantor Pertanahan. Pembinaan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kepala Kantor Pertanahan dapat berupa:

  1. penyampaian dan penjelasan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Menteri terkait pelaksanaan tugas PPAT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. sosialisasi, diseminasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan;
  3. pemeriksaan ke kantor PPAT dalam rangka pengawasan secara periodik; dan/atau
  4. pembinaan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi PPAT sesuai Kode Etik.

Selain pembinaan di atas, Kepala Kantor Pertanahan atau petugas yang ditunjuk melakukan pemeriksaan atas akta yang dibuat oleh PPAT pada saat pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak.

PENGAWASAN PPAT

Pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan PPAT dilakukan untuk memastikan PPAT melaksanakan kewajiban dan jabatan PPAT-nya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain:

  1. tempat kedudukan kantor PPAT;
  2. stempel jabatan PPAT;
  3. papan nama, dan kop surat PPAT;
  4. penggunaan formulir akta, pembuatan akta dan penyampaian akta;
  5. penyampaian laporan bulanan akta;
  6. pembuatan daftar akta PPAT;
  7. penjilidan akta, warkah pendukung akta, protokol atau penyimpanan bundel asli akta; dan
  8. pelaksanaan jabatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.

PEMERIKSAAN

Pengawasan atas pelaksanaan jabatan PPAT dilakukan dengan pemeriksaan ke kantor PPAT atau cara pengawasan lainnya, oleh:

  1. Kepala Kantor Wilayah BPN, dilaksanakan secara berkala; dan
  2. Kepala Kantor Pertanahan, dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Kepala Kantor Wilayah BPN dan/atau Kepala Kantor Pertanahan dapat menugaskan pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan pemeriksaan ke kantor PPAT. Dan juga dapat dibantu oleh Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sesuai dengan tugas dan kewenangannya, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. mendapat penugasan dari Ketua Majelis Pembina dan Pengawas PPAT; dan
  2. dilakukan paling sedikit 2 (dua) orang.

HASIL PEMERIKSAAN

Hasil pemeriksaan dibuat dalam bentuk risalah sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran I Permen ATR/BPN Nomor 2 Tahun 2018.

Apabila terdapat temuan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, ditindaklanjuti dengan pemeriksaan oleh Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.

PELAPORAN HASIL PEMERIKSAAN

Hasil pemeriksaan ke kantor PPAT dilaporkan secara berkala kepada Menteri ATR/BPN. Pelaporan dilakukan berjenjang, dengan ketentuan:

  1. Kepala Kantor Pertanahan menyampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN, paling lambat pada minggu pertama awal bulan;
  2. Kepala Kantor Wilayah BPN menyampaikan pelaporan di wilayahnya dan pelaporan dari Kantor Pertanahan kepada Direktur Jenderal, paling lambat pada minggu kedua awal bulan; dan
  3. Direktur Jenderal meneruskan laporan Kepala Kantor Pertanahan dan Kepala Kantor Wilayah BPN kepada Menteri.

Tindak lanjut pelaporan tersebut sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan di bidang PPAT.

PENGAWASAN BERUPA PENEGAKAN HUKUM

Pengawasan berupa penegakan aturan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPAT dilaksanakan atas temuan dari Kementerian terhadap pelanggaran pelaksanaan jabatan PPAT atau terdapat pengaduan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT.

Maksud dari pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT di atas merupakan:

  1. pelanggaran atas pelaksanaan jabatan PPAT;
  2. tidak melaksanakan kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
  3. melanggar ketentuan larangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; dan/atau
  4. melanggar Kode Etik.

Adapun pengaduan atas dugaan pelanggaran dapat berasal dari:

  1. masyarakat, baik perorangan/badan hukum; dan/atau
  2. IPPAT.

Pengaduan terhadap dugaan pelanggaran oleh PPAT dapat disampaikan secara tertulis kepada Kementerian atau melalui website pengaduan, aplikasi Lapor atau sarana pengaduan lainnya yang disediakan oleh Kementerian.

Apabila pengaduan dari masyarakat diterima oleh Kementerian, Kantor Wilayah BPN, Kantor Pertanahan, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT atau IPPAT maka pengaduan diteruskan kepada MPPD.

Pengaduan yang disampaikan secara tertulis oleh pelapor harus memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. harus jelas menyebutkan identitas pelapor dan terlapor; dan
  2. melampirkan bukti yang berkaitan dengan pengaduan.

MPPD menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT dengan melakukan pemeriksaan terhadap PPAT terlapor.

PEMBERIAN SANKSI TERHADAP PPAT

Pemberian sanksi yang dikenakan terhadap PPAT yang melakukan pelanggaran dapat berupa:

  1. teguran tertulis;

Pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT berupa teguran tertulis dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan.

  1. pemberhentian sementara;

Sanksi ini dapat diberikan langsung tanpa didahului teguran tertulis. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT berupa pemberhentian sementara dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN.

  1. pemberhentian dengan hormat; atau

Sanksi ini dapat diberikan langsung tanpa didahului teguran tertulis. Pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan hormat dapat didahului dengan pemberhentian sementara. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT berupa pemberhentian dengan hormat dilakukan oleh Menteri.

  1. pemberhentian dengan tidak hormat.

Sanksi ini dapat diberikan langsung tanpa didahului teguran tertulis. Pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dapat didahului dengan pemberhentian sementara. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT berupa pemberhentian dengan tidak hormat dilakukan oleh Menteri.

HONORARIUM NOTARIS

HONORARIUM NOTARIS

Pada tulisan sebelumnya telah diuraikan mengenai uang jasa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagaimana dengan uang jasa untuk Notaris?

Ternyata berbeda pengaturan besaran uang jasa PPAT dengan honorarium Notaris. Bahkan penyebutan nomenklaturnya pun berbeda dalam peraturan perundang-undangan. Namun faktanya masih banyak masyarakat Indonesia yang menyamakan antara Notaris dengan PPAT, baik secara pengertian, kewenangan maupun yang lainnya, termasuk ketentuan uang jasa atau honorarium di antara keduanya.

Honorariun Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya.

Besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya.

Adapun nilai ekonomis ditentukan dari objek setiap akta sebagai berikut:

  1. Sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau ekuivalen gram emas ketika itu, honorarium yang diterima paling besar adalah 2,5% (dua koma lima persen);
  2. Di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima paling besar 1,5 % (satu koma lima persen); atau
  3. Di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima didasarkan pada kesepakatan antara Notaris dengan para pihak, tetapi tidak melebihi 1% (satu persen) dari objek yang dibuatkan aktanya.

Nilai sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap akta dengan honorarium yang diterima paling besar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Akta yang mempunyai fungsi sosial, misalnya, akta pendirian yayasan, akta pendirian sekolah, akta tanah wakaf, akta pendirian rumah ibadah, atau akta pendirian rumah sakit.

Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu.

SANKSI

Pelanggaran terhadap Pasal 37 UUJN, yang mengatur kewajiban Notaris memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, dapat dikenai sanksi berupa:

  1. Teguran lisan;
  2. Teguran tertulis;
  3. Pemberhentian sementara;
  4. Pemberhentian dengan hormat; atau
  5. Pemberhentian dengan tidak hormat.
UANG JASA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

UANG JASA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

KETENTUAN UANG JASA PPAT DAN PPAT SEMENTARA

Uang Jasa PPAT diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2021 Tentang Uang Jasa Pejabat Pembuat Akta Tanah (ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2021). Pengaturannya adalah sebegai berikut:

Tidak Boleh Melebihi 1% (Satu Persen) dari Harga Transaksi yang Tercantum di dalam Akta

Uang Jasa Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara atas biaya pembuatan akta tidak boleh melebihi 1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta.

Ketentuan uang jasa tersebut sudah termasuk honorarium saksi dalam pembuatan akta. Dan juga sudah didasarkan pada nilai ekonomis yang ditentukan dari harga transaksi setiap akta dengan rincian sebagai berikut:

  1. Kurang dari atau sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), paling banyak sebesar 1% (satu persen);
  2. Lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), paling banyak sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen);
  3. Lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen); atau
  4. Lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), paling banyak sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen).

Wajib Memberikan Jasa Pembuatan Akta Tanpa Memungut Biaya Kepada Orang yang Tidak Mampu

Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara wajib memberikan jasa pembuatan akta tanpa memungut biaya kepada orang yang tidak mampu. Orang yang tidak mampu dibuktikan dengan Surat Keterangan Tidak Mampu yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.

SANKSI

Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara melanggar ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2021 Tentang Uang Jasa Pejabat Pembuat Akta Tanah maka dikenakan sanksi sebagai berikut:

  1. Memungut uang jasa melebihi ketentuan, maka dikenakan sanksi pelanggaran ringan berupa pemberhentian sementara paling lama 6 (enam) bulan.
  2. memungut uang jasa kepada seseorang yang tidak mampu, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis.

Adapun Tata cara pemeriksaan dan pengenaan sanksi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembinaan dan pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)

PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)

Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Peraturan perundang-undangan memperkenalkan beberapa jenis PPAT lainnya, sebagai berikut:

  1. PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
  2. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.

TUGAS POKOK DAN KEWENANGAN PPAT

PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum  mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Adapun PPAT Khusus  hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.

Perbuatan hukum yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut:

  1. jual beli;
  2. tukar menukar;
  3. hibah;
  4. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
  5. pembagian hak bersama;
  6. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
  7. pemberian Hak Tanggungan;
  8. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Pada uraian di atas disebutkan bahwa PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Sehingga apabila Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta. Akta tersebut dibuat oleh PPAT sesuai dengan jumlah kabupaten/kota letak bidang tanah yang dilakukan perbuatan hukumnya, untuk kemudian masing-masing akta PPAT tersebut didaftarkan pada Kantor Pertanahan masing-masing.

​DAERAH KERJA PPAT

Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalamnya.

Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan.

Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjuknnya.

Apabila suatu wilayah kabupaten/kota dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang tentang pembentukan kabupaten/kota yang baru, PPAT yang daerah kerjanya adalah kabupaten/kota semula harus memilih salah satu wilayah kabupaten/kota sebagai daerah kerjanya, dengan ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang pembentukan kabupaten/kota baru tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah kabupaten/kota letak kantor PPAT yang bersangkutan.

PPAT yang telah memiliki daerah kerja sebagaimana uraian pecah wilayah di atas,  harus menyerahkan protokol PPAT untuk wilayah yang bukan menjadi daerah kerjanya lagi kepada PPAT yang lain yang ditunjuk paling lama 3 (tiga) bulan sejak penetapan wilayah kerja yang baru.

Apabila Kantor Pertanahan untuk wilayah pemekaran masih merupakan kantor perwakilan, terhadap PPAT yang memilih daerah kerja asal atau daerah kerja pemekaran masih dapat melaksanakan pembuatan akta meliputi wilayah Kantor Pertanahan induk dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undangundang pembentukan kabupaten/kota yang bersangkutan.

PPAT yang diangkat dengan daerah kerja kabupaten/kota pemekaran sedangkan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota pemekaran belum terbentuk, maka PPAT yang bersangkutan hanya berwenang membuat akta di daerah kerja sesuai dengan pengangkatannya.

​SYARAT DAPAT DIANGKAT SEBAGAI PPAT

Syarat untuk dapat diangkat sebagai PPAT adalah:

  1. Warga Negara Indonesia;
  2. berusia paling rendah 22 (dua puluh dua) tahun;
  3. berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat;
  4. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  5. sehat jasmani dan rohani;
  6. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan atau lulusan program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan;
  7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan; dan
  8. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan pada kantor PPAT paling sedikit 1 (satu) tahun, setelah lulus pendidikan kenotariatan.

RANGKAP JABATAN PPAT

​PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris di tempat kedudukan Notaris.

PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi:

  1. advokat, konsultan atau penasehat hukum;
  2. pegawai negeri, pegawai badan usaha milik negara, pegawai badan usaha daerah, pegawai swasta;
  3. pejabat negara atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK);
  4. pimpinan pada sekolah, perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi swasta;
  5. surveyor berlisensi;
  6. penilai tanah;
  7. mediator; dan/atau
  8. jabatan lainnya yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sumber :

  1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 TAHUN 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
  2. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Ujian, Magang, Pengangkatan, Pengangkatan Kembali, Dan Perpanjangan Masa Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
  3. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 23 Tahun 2009.